Beberapa ahli juga menekankan pentingnya diversifikasi ekonomi daerah penghasil tambang agar tidak terjebak dalam "kutukan sumber daya alam". Penguatan sektor pariwisata, pertanian modern, manufaktur, dan ekonomi kreatif dinilai dapat menjadi solusi untuk menciptakan pembangunan yang lebih merata dan berkelanjutan. Selain itu, peningkatan transparansi dalam tata kelola pertambangan, termasuk penggunaan teknologi digital untuk monitoring, diyakini dapat memperkecil peluang terjadinya pelanggaran.
Pemerintah menegaskan komitmennya untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Penerapan prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) kini diwajibkan dalam aktivitas pertambangan, dan perusahaan yang tidak memenuhi standar disebut akan menghadapi pengetatan izin hingga sanksi administratif. Namun publik menilai bahwa efektivitas kebijakan ini masih perlu dibuktikan di lapangan.
Kontribusi pertambangan sebagai sektor terbesar kelima penyumbang PDB memang menunjukkan bahwa industri ekstraktif memegang peran besar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, pertanyaan yang masih menggantung adalah: apakah pertumbuhan tersebut dapat berlangsung tanpa mengorbankan keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial?
Selama berbagai persoalan di lapangan belum ditangani secara komprehensif, kontribusi besar tambang akan terus menjadi paradoks: di satu sisi membanggakan, di sisi lain menyisakan luka yang belum sembuh. Di tengah dorongan untuk menjadi raksasa ekonomi baru di Asia Tenggara, Indonesia perlu memastikan bahwa kejayaan tambang tidak hanya terlihat dalam angka PDB, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat dan tetap berpihak pada masa depan lingkungan.