Sektor pertambangan kembali menjadi sorotan setelah data terbaru menunjukkan bahwa industri ini menempati posisi kelima sebagai penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Capaian tersebut menempatkan tambang sejajar dengan sektor-sektor strategis lain seperti manufaktur, perdagangan, dan konstruksi. Meski demikian, kontribusi besar ini juga dibarengi dengan kritik soal keberlanjutan, dampak ekologis, dan kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah operasi tambang.
Laporan ekonomi nasional yang dirilis pemerintah memperlihatkan bahwa kontribusi sektor pertambangan berada pada kisaran yang signifikan, didorong oleh tingginya permintaan global terhadap komoditas seperti batu bara, nikel, emas, tembaga, dan bauksit. Kenaikan harga komoditas di pasar internasional membuat kinerja ekspor Indonesia melonjak, sekaligus mempertebal porsi pertambangan dalam struktur PDB nasional.
Dalam beberapa tahun terakhir, mineral terutama nikel menjadi primadona baru yang mendorong geliat investasi asing. Masuknya investor besar dalam proyek smelter dan ekosistem baterai kendaraan listrik membuat sektor ini tidak lagi dilihat hanya sebagai penyedia bahan mentah, tetapi juga sebagai pintu masuk menuju industri hilirisasi bernilai tinggi. Pemerintah menegaskan bahwa transformasi ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk memperkuat daya saing ekonomi nasional di tengah percepatan transisi energi global.
Meski demikian, capaian tersebut tidak datang tanpa harga. Di sejumlah daerah, masyarakat menilai bahwa tingginya kontribusi tambang terhadap PDB tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan di tingkat lokal. Banyak daerah penghasil tambang justru masih menghadapi persoalan klasik seperti ketimpangan pendapatan, kerusakan lingkungan, minimnya akses infrastruktur, serta permasalahan kesehatan akibat aktivitas industri ekstraktif.