“PP 28/2024 berpotensi menimbulkan dampak serius terhadap industri tembakau yang menyerap jutaan tenaga kerja. Aturan zonasi penjualan dan pelarangan iklan yang terlalu ketat bisa mengganggu rantai distribusi, menurunkan omzet pelaku usaha ritel, dan pada akhirnya memicu gelombang PHK, terutama di sektor buruh linting dan petani tembakau,” jelas Rizal.
Potensi Perluasan Pasar Ilegal dan Lubang Fiskal
Dalam pandangannya, pemerintah perlu melihat industri tembakau sebagai ekosistem ekonomi yang kompleks dan padat karya, bukan hanya dari sisi konsumsi. Selain ancaman PHK, pasal-pasal tembakau dalam PP 28/2024 dan wacana aturan turunannya turut berpotensi memperlemah industri legal dan memperluas pasar rokok ilegal. Rizal mengingatkan, rokok ilegal tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga berdampak pada penerimaan negara.
“Wacana ini berpotensi menurunkan daya tarik produk legal dan memperbesar ceruk pasar bagi rokok ilegal yang tidak menyumbang cukai,” jelasnya. Ia mencatat, kontribusi cukai hasil tembakau terhadap APBN rata-rata mencapai Rp 218 triliun per tahun. Bila konsumsi bergeser ke produk ilegal, negara bisa kehilangan potensi pendapatan hingga puluhan triliun rupiah per tahun. “Kebijakan ini berisiko menciptakan lubang fiskal yang cukup besar,” tegas Rizal.
Solusi: Pengawasan, Edukasi, dan Pendekatan Proporsional
Menurut Rizal, solusi bukan hanya memperketat regulasi, melainkan memperkuat pengawasan dan edukasi publik. “Solusinya bukan sekadar memperketat aturan, tetapi memperkuat pengawasan, edukasi konsumen, tidak menaikan cukai, memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak memberi ruang pada pasar ilegal tumbuh,” tuturnya.