Langkah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dalam menerapkan tarif impor baru menuai sorotan global. Kebijakan tarif umum sebesar 10% atas semua barang impor resmi diberlakukan sejak 5 April 2025. Tak berhenti di situ, tarif balasan (resiprokal) yang menyasar 60 negara—termasuk Indonesia—mulai berlaku efektif 9 April 2025, memicu kekhawatiran luas akan lonjakan harga barang dan terganggunya rantai pasokan global.
Tarif ini secara langsung berdampak pada perusahaan-perusahaan AS yang melakukan impor barang dari luar negeri. Dalam praktiknya, biaya tambahan tersebut akhirnya dibebankan kepada konsumen akhir, sehingga harga barang impor akan melambung di pasar domestik AS.
Tarif Resiprokal: Indonesia dan China Kena Imbas Besar
Tarif balasan yang diterapkan oleh Trump tidak seragam untuk setiap negara. Di Indonesia, tarif yang dikenakan mencapai 32%, sedangkan China dikenai tarif sebesar 34%. Namun khusus untuk China, tarif ini bisa meningkat drastis hingga 104%, tergantung jenis produk yang diimpor.
Artinya, barang-barang dari negara-negara ini akan menjadi jauh lebih mahal bagi konsumen Amerika. Dan karena AS sangat bergantung pada impor dari negara-negara Asia, dampaknya pun terasa sangat luas.
Harga Laptop dan HP Bisa Tembus Rp16 Jutaan
Profesor Jason Miller, pakar manajemen rantai pasok dari Michigan State University, mengungkapkan bahwa salah satu sektor yang akan paling terpukul adalah barang elektronik—termasuk laptop dan smartphone. Miller memberi ilustrasi: sebuah laptop dengan harga dasar US$400 akan dijual di AS dengan harga sekitar US$571 jika ditambahkan margin laba 30%. Namun, dengan tambahan tarif 104%, harga tersebut bisa melonjak drastis.
Jika seluruh beban tarif ditanggung konsumen, harga akhir laptop bisa mencapai US$966, atau sekitar Rp16 juta. Ini mewakili kenaikan inflasi hingga 69%, dengan penurunan margin keuntungan dari para peritel sebesar 18%.
Tak Hanya China, Hampir Semua Negara Kena Dampaknya