Di era globalisasi saat ini, konsep ekonomi syariah semakin mendapatkan perhatian di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara dengan populasi Muslim yang besar. Ekonomi syariah tidak hanya sekedar mencakup transaksi keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, tetapi juga melibatkan berbagai aspek sosial dan budaya yang dapat menciptakan kesejahteraan komunitas. Namun, munculnya ekonomi syariah juga diikuti dengan politik identitas yang kian menguat. Pertanyaannya, apakah fenomena ini merupakan dinamika baru dalam masyarakat kita atau sekadar strategi lama yang dipolitisasi untuk kepentingan tertentu?
Politik identitas mengacu pada cara di mana kelompok-kelompok tertentu berusaha memperjuangkan kepentingan mereka melalui identitas budaya, agama, atau etnis. Dalam konteks Indonesia, di mana mayoritas penduduknya beragama Islam, politik identitas seringkali menggunakan ekonomi syariah sebagai alat untuk memperkuat posisi kelompok Muslim. Beberapa pengamat menyebutkan bahwa fenomena ini mulai muncul sebagai respons terhadap globalisasi yang cenderung mengarah kepada homogenisasi budaya dan ekonomi.
Dalam beberapa tahun terakhir, tren ini semakin terlihat jelas dengan munculnya berbagai produk dan layanan berbasis syariah, mulai dari perbankan syariah, asuransi syariah, hingga pariwisata halal. Pasar Muslim yang terus berkembang memberikan peluang besar bagi pelaku usaha yang ingin menjangkau konsumen Muslim. Namun, di balik peluang tersebut terdapat tantangan politik identitas yang tak bisa diabaikan. Di satu sisi, kebangkitan ekonomi syariah menciptakan identitas kolektif di kalangan masyarakat Muslim, tetapi di sisi lain dapat mempertajam perpecahan dengan kelompok non-Muslim.