Jalanan Jakarta kembali 'panas', dan ini bukan hanya soal suhu cuaca. Asap knalpot bercampur dengan asap flare dan deru spanduk tuntutan. Para buruh dari berbagai serikat kembali turun ke jalan. Mereka mengepung titik-titik vital pemerintahan, dari Balai Kota hingga Istana Negara.
Pemandangan ini seolah menjadi ritual tahunan bagi kita. Namun, di baliknya, ada sengketa yang lebih dalam dari sekadar rutinitas. Tuntutan mereka selalu terdengar sama: kenaikan upah dan penolakan outsourcing.
Lalu, apa sebenarnya masalah yang menyelubungi? Apakah murni karena gaji yang dirasa kurang? Atau karena biaya hidup yang melambung tak terkejar? Jawabannya: Keduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Mereka saling terkait dan menciptakan dilema pelik.
Momok Bernama 'Ketidakpastian'
Mari kita bedah dua 'musuh' utama yang selalu diteriakkan di mobil komando: Undang-Undang Cipta Kerja dan sistem outsourcing. Bagi serikat pekerja, UU Cipta Kerja (Omnibus Law) dianggap sebagai biang kerok. Aturan ini melegalkan "perbudakan modern" menurut pandangan mereka. Salah satu pasal paling sensitif adalah pelonggaran aturan outsourcing (alih daya) [1].
Dulu, outsourcing dibatasi hanya untuk pekerjaan penunjang. Contohnya petugas kebersihan, keamanan, atau katering. Kini, aturan itu diperluas secara signifikan. Perusahaan bisa merekrut pekerja outsourcing bahkan untuk pekerjaan-pekerjaan inti produksi. Ini adalah perubahan fundamental dalam lanskap ketenagakerjaan kita [2].
Apa dampaknya bagi buruh? Ini adalah hilangnya kepastian kerja. Mereka yang berstatus outsourcing hidup dalam bayang-bayang kontrak jangka pendek. Sulit bagi mereka mendapatkan jenjang karier yang jelas. Tidak ada jaminan kontrak akan diperpanjang. Buruh juga rentan kehilangan hak-hak normatif, seperti pesangon [3].
Ini adalah akar dari masalah "kemakmuran" yang dituntut. Sulit sejahtera jika status pekerjaan saja tidak pasti. Ketidakpastian ini menciptakan kecemasan finansial dan psikologis. Buruh merasa masa depan mereka digantung oleh keputusan perusahaan [4].