Keunggulan lainnya, sagu tumbuh secara alami di lahan marginal dan rawa tanpa memerlukan input kimia, sehingga minim dampak lingkungan. Singkong pun dikenal sebagai tanaman tahan kekeringan dan dapat tumbuh hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Kunci Ketahanan Pangan: Kebijakan dan Teknologi
Pemerintah sebenarnya telah menginisiasi diversifikasi pangan melalui Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2021 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi. Namun, implementasi di tingkat industri dan konsumen masih minim. Padahal, dengan dukungan kebijakan yang konsisten, teknologi pengolahan yang modern, serta insentif untuk pelaku UMKM, Indonesia dapat membangun industri tepung lokal yang kuat dan berkelanjutan.
Di tengah tren konsumsi pangan sehat dan berkelanjutan, ini adalah momentum yang tepat untuk mengangkat sagu dan singkong dari sekadar alternatif menjadi bagian utama identitas pangan nasional.
Gizi, Karbon, dan Nilai Tambah Ekonomi
Secara gizi, tepung terigu unggul dalam kandungan protein (~13 g) dan serat (~10,7 g), namun memiliki IG tinggi dan mengandung gluten. Sebaliknya, sagu dan tapioka memang rendah protein dan serat, namun bebas gluten dan tinggi karbohidrat. Keduanya memiliki nilai tambah tersendiri dalam industri makanan bebas gluten dan kesehatan.
Dari sisi lingkungan, sagu unggul secara signifikan. Produksi tepung sagu hanya menghasilkan sekitar 38 kg CO2 per ton, jauh lebih rendah dibandingkan tepung terigu (350–620 kg CO2 per ton) dan tapioka (296 kg CO2 per ton). Bahkan, tanaman sagu mampu menyerap karbon hingga 240 ton CO2 per hektar per tahun—menjadikannya sebagai solusi berbasis alam dalam mitigasi perubahan iklim.