Meskipun pada awalnya bubur suro hanya terbuat dari beras ketan, santan, dan gula merah, seiring berjalannya waktu, variasi bubur suro pun semakin bervariasi. Hal ini tercermin dari banyaknya variasi bubur suro yang kini dapat ditemui di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa variasi bubur suro yang populer antara lain bubur sumsum, bubur candil, dan bubur mutiara. Setiap variasi tersebut memiliki ciri khasnya masing-masing, namun tetap mempertahankan kelezatan dan cita rasa autentik bubur suro.
Bubur suro juga memiliki makna filosofis dalam tradisi Jawa. Bulan Suro sendiri merupakan bulan pertama dalam penanggalan Jawa, yang dianggap sebagai waktu yang fitrah untuk bersih-bersih dan memulai sesuatu yang baru. Dengan mengonsumsi bubur suro, masyarakat Jawa mempercayai bahwa mereka akan mendapat keberkahan dan keberlimpahan dalam menjalani kehidupan di bulan baru.
Tak hanya memiliki cita rasa yang lezat, bubur suro juga menjadi bagian penting dalam tradisi dan budaya Jawa. Bubur suro seringkali dihidangkan dalam acara-acara adat seperti selamatan, syukuran, atau saat acara ritual keagamaan. Bubur suro juga sering dijadikan sebagai hidangan penutup dalam acara-acara tersebut, sebagai simbol keharmonisan dan keberlimpahan dalam kehidupan.