Edward McKinnon, dalam Ancient Fansur, Aceh's Atlantis (2013), menjelaskan bahwa jalur perdagangan Arab membawa mereka ke Barus demi mendapatkan pasokan kapur barus.
Ibn Al-Faqih, seorang pedagang Arab pada tahun 902 M, mencatat bahwa Fansur adalah produsen utama kapur barus, pala, cengkeh, dan kayu cendana.
Ibn Sa’id al-Magribi, ahli geografi abad ke-13, juga menyebutkan asal muasal kamper sebagai dari Pulau Sumatera.
Bahkan Ptolemy, ahli geografi dari Romawi pada abad ke-1 M, telah mencatat nama Barus dalam catatannya.
Dengan informasi ini, jelas bahwa Barus bukan wilayah biasa. Ia adalah pelabuhan strategis yang sejak ribuan tahun silam menjadi jalur penting perdagangan internasional.
Jalur Panjang Kapur Barus: Dari Persia ke Sumatera
Para pedagang Arab melakukan perjalanan panjang dari Teluk Persia, melewati Ceylon (kini Sri Lanka), sebelum akhirnya tiba di Pantai Barat Sumatera. Mereka membawa kapal besar berisi banyak muatan kapur barus karena harganya sangat tinggi di pasar dunia. Kapur barus asal Barus bahkan dikenal lebih unggul kualitasnya dibandingkan produk sejenis dari Malaya atau Kalimantan.
Tak hanya sebagai komoditas bernilai tinggi, kapur barus juga menjadi pintu masuk Islamisasi di Nusantara.
Kapur Barus dan Awal Mula Penyebaran Islam di Indonesia
Kehadiran pedagang Arab di Barus tidak semata karena bisnis. Mereka juga membawa serta ajaran Islam. Barus pun menjadi salah satu pintu masuk pertama Islam di Indonesia, selain Thobri (Lamri) dan Haru. Di daerah Barus, terdapat kompleks makam kuno Mahligai yang menyimpan nisan dari abad ke-7 Masehi—sebuah bukti arkeologis kuat bahwa Islam sudah hadir di sana sejak masa-masa awal.