Gelombang Maut yang Tak Terduga
Setelah gempa mereda, peringatan tsunami pun keluar. Sayangnya, masih menyebutkan tinggi gelombang 3 meter. Ryo diperintahkan perusahaan untuk pulang dan membantu keluarganya. Rumahnya hanya berjarak sekitar 1 km dari pantai, jarak yang sebelumnya dianggap aman.
Setibanya di rumah, keluarganya menyambut dengan tenang. Mereka yakin tsunami yang diwaspadai tidak akan datang. Tapi Ryo masih merasakan kegelisahan yang tak bisa dijelaskan. Dan ketakutannya terbukti benar.
Tak lama setelahnya, saat melihat keluar jendela, ia melihat gelombang besar mendekat dengan sangat cepat. Dalam hitungan detik, air menghantam rumah mereka. Ryo tak sempat menyelamatkan diri. Ia dihantam gelombang dan terseret bersama puing-puing rumah yang hancur.
Bertahan Hidup di Tengah Bencana
Ryo sempat merasa akan menghembuskan napas terakhirnya saat tubuhnya terombang-ambing di air. Ia menahan napas sambil berpegangan pada lemari yang mengapung, berharap arus tidak menyeretnya terlalu jauh. Dalam benaknya, ia hanya bisa pasrah.
“Saya berpikir lebih baik saya menghembuskan napas terakhir dan menyerah saja,” ujarnya mengenang peristiwa itu.
Namun, naluri bertahan hidupnya lebih kuat. Saat air mulai surut, Ryo berhasil menginjak tanah kembali. Tubuhnya lemas, tapi ia bersyukur karena masih hidup. Saat melihat sekeliling, pemandangan mengerikan menyambutnya: kota yang rata dengan tanah, mayat yang mengapung, dan orang-orang terluka merintih minta tolong.
Fukushima Setelah Bencana: Kota yang Hilang
Ketika Ryo akhirnya bertemu kembali dengan keluarganya, ia mengetahui bahwa ayah, ibu, dan saudara perempuannya juga selamat. Hanya sang nenek yang hilang, kemungkinan besar meninggal dan belum ditemukan hingga hari ini. Kota Fukushima berubah menjadi kota mati. Radiasi dari reaktor nuklir yang bocor membuat wilayah tersebut tak bisa dihuni hingga waktu yang belum diketahui.