"Para bandar judi kini memanfaatkan pedagang atau merchant sebagai tempat persembunyian. Mereka menyamar sebagai pelaku usaha kecil seperti warung bakso atau toko kelontong, padahal itu hanyalah topeng," ungkap Karaniya.
Modus QRIS dan Akal-akalan Nama Merchant
Salah satu celah yang dimanfaatkan oleh pelaku judi online adalah penggunaan sistem pembayaran QRIS yang dimiliki oleh merchant. QRIS, yang seharusnya memudahkan transaksi masyarakat, justru menjadi celah karena tidak memiliki batasan transaksi seperti akun perorangan yang diwajibkan melalui proses Know Your Customer (KYC).
Dalam praktiknya, para pelaku bisa dengan bebas melakukan transaksi dalam jumlah besar melalui merchant palsu yang menggunakan QRIS. Hal ini memungkinkan mereka menghindari deteksi karena transaksi terlihat seolah-olah terjadi dalam aktivitas jual-beli biasa.
Karaniya memberi contoh mencolok dari fenomena ini. Ia menyebut ada "warung bakso" yang aktif melakukan transaksi pada dini hari, tepatnya antara pukul 01.00 hingga 03.00 pagi. Yang lebih mencurigakan, nilai transaksinya mencapai miliaran rupiah.
"Bayangkan saja, sebuah warung bakso yang buka tengah malam dan transaksi hariannya mencapai miliaran rupiah. Ini jelas bukan aktivitas dagang biasa. Inilah yang kami telusuri bersama PPATK dan Bank Indonesia," kata Karaniya dengan nada prihatin.
Upaya Identifikasi dan Penegakan Hukum
Untuk menanggulangi praktik ini, kolaborasi antara pelaku industri keuangan digital dan lembaga pengawasan menjadi sangat krusial. Saat ini, PPATK bersama para penyedia layanan keuangan sedang gencar melakukan identifikasi terhadap merchant-merchant mencurigakan. Tujuannya adalah menghapus celah-celah yang selama ini dimanfaatkan oleh sindikat judi online untuk menjalankan bisnis haramnya.
Tidak hanya itu, Bank Indonesia juga memperketat pengawasan terhadap transaksi digital dan sistem pembayaran non-tunai. Salah satu fokus utama adalah pemantauan terhadap pola transaksi mencurigakan yang tidak sesuai dengan aktivitas usaha sesungguhnya.