Kerja sama dengan Jepang menjadi kunci dalam adopsi teknologi ini. Jepang telah memasang lebih dari 3000 sensor yang mendukung teknologi EEW di wilayah mereka. Kolaborasi antara Indonesia dan Jepang, termasuk universitas dan pemerintah daerah, diharapkan dapat mempercepat implementasi teknologi ini di Indonesia. Wijayanto menegaskan bahwa instalasi sensor tidak hanya menjadi tanggung jawab BMKG semata, melainkan membutuhkan kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk masyarakat luas.
Namun demikian, perlu disadari bahwa teknologi tersebut tidak dapat memprediksi gempa jauh sebelum terjadi. Sejauh ini, belum ada teknologi yang mampu memperkirakan gempa dengan akurasi hingga satuan hari atau jam. Oleh karena itu, adopsi teknologi EEW diharapkan dapat memberikan informasi cepat terkait guncangan gempa dalam waktu 2–3 tahun ke depan.
Selain adopsi teknologi, BMKG juga sedang dalam proses uji coba terkait efektivitas teknologi EEW ini. Hasil uji coba tersebut dikabarkan memperlihatkan hasil yang lumayan bagus, menunjukkan potensi teknologi ini dalam memberikan peringatan dini yang efektif.
Dalam mengembangkan sistem peringatan dini terhadap bencana, BMKG juga mempertimbangkan untuk mengkolaborasikan kearifan lokal. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menganggap bahwa kolaborasi antara teknologi modern dan kearifan lokal dapat memperkuat sistem peringatan dini terhadap gempa bumi dan tsunami. Hal ini menjadi penting mengingat Indonesia memiliki beragam pengetahuan lokal yang telah diwariskan turun-temurun dan dapat menjadi sumber pengetahuan yang penting dalam upaya mitigasi bencana.