Kedua, lisensi Starlink Nasional sebaiknya dibatasi pada layanan B2B saja, sementara layanan business to consumer (B2C) dapat dilokalisasi hanya untuk wilayah non-ekonomi di pedesaan dan terpencil. Ketentuan ini diharapkan dapat mengurangi dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh Starlink terhadap bisnis telekomunikasi lokal.
Tidak hanya itu, layanan direct to cell milik Starlink juga diwajibkan untuk bekerjasama dengan operator seluler sebagai pemilik frekuensi. Selain itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersama dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perlu memantau dampak bisnis Starlink untuk menghindari predatory pricing serta kompetisi yang tidak sehat.
Marwan menekankan bahwa pemerintah perlu memastikan bahwa Starlink telah mematuhi semua persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini termasuk biaya hak penggunaan frekuensi dan ketentuan lainnya. Saat ini, Starlink diyakini membayar biaya hak penggunaan frekuensi lebih murah dibandingkan dengan penyedia jasa internet lokal di Indonesia. Seiring dengan itu, instruksi dari pemerintah juga diharapkan dapat memastikan implementasi nota kesepahaman yang sudah dibuat antara Starlink dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).
Meskipun izin usaha Starlink telah sesuai dengan regulasi yang berlaku, namun izin B2C dengan skema equal playing field yang diberikan berpotensi mengancam keberlangsungan bisnis seluruh pemain lokal. Marwan menegaskan bahwa praktik predatory pricing yang mungkin dilakukan oleh Starlink merupakan ancaman serius bagi industri telekomunikasi nasional, dan pemerintah perlu melindungi keberlangsungan bisnis para pelaku industri telekomunikasi lokal.