Pada tahun 1984, sebuah misi luar angkasa yang menegangkan sekaligus mengagumkan terjadi, melibatkan dua astronaut NASA, Dale Gardner dan Joseph Allen. Misi ini tak hanya menjadi catatan penting bagi sejarah penerbangan luar angkasa Amerika Serikat, tapi juga menyangkut salah satu aset penting milik Indonesia: Satelit Palapa.
Kala itu, dari pusat pengendali di Bumi, para astronaut menerima kabar mendesak—dua satelit komunikasi mengalami gangguan orbit dan mulai kehilangan arah. Salah satunya adalah Palapa, satelit pertama milik Indonesia yang diluncurkan delapan tahun sebelumnya dari Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat.
Satelit Palapa sendiri merupakan terobosan besar dalam infrastruktur komunikasi Indonesia. Diluncurkan pada tahun 1976, satelit ini berhasil menghubungkan jaringan komunikasi antar pulau di negeri kepulauan tersebut—sebuah pencapaian luar biasa yang mempercepat kemajuan komunikasi nasional saat itu.
Namun, seperti teknologi lainnya, satelit juga tak luput dari risiko kegagalan. Setelah beberapa tahun beroperasi, Palapa mengalami gangguan serius. Penyebabnya? Roket pendorong gagal menempatkan satelit pada lintasan orbit yang tepat, sehingga satelit mulai menyimpang dan keluar dari jalur. Jika dibiarkan, satelit ini akan melayang tak tentu arah di ruang angkasa, tidak hanya kehilangan fungsi, tapi juga menjadi ancaman bagi benda langit lainnya.
NASA: Menghadapi Tantangan Berbahaya di Antariksa
Menghadapi situasi darurat ini, NASA memutuskan untuk melakukan satu-satunya langkah logis, meski sangat berisiko: mengirim manusia untuk menangkap dan mengembalikan satelit ke Bumi secara manual. Tidak ada alat otomatis yang mampu melakukan tugas tersebut kala itu. Solusinya hanya satu: astronaut harus keluar dari wahana, menghampiri satelit di ruang hampa tanpa gravitasi, dan membawanya kembali ke dalam wahana.