Fenomena pemblokiran massal ini memunculkan kecurigaan besar terhadap penggunaan sistem otomatis berbasis AI dalam proses moderasi konten oleh Meta (induk perusahaan Instagram). Para pengguna menduga bahwa kesalahan sistem AI dalam membaca aktivitas pengguna menjadi biang kerok pemblokiran yang tidak semestinya.
Tech Crunch menyoroti bahwa platform teknologi besar kerap mengalami insiden serupa, terutama saat mereka mulai menggantikan peran manusia dengan sistem otomatis dalam menyaring konten, mengawasi pelanggaran, dan menindak akun.
Kasus Pinterest Jadi Pelajaran
Bukan hanya Instagram yang pernah tersandung masalah semacam ini. Pada awal tahun 2025, Pinterest juga mengalami kejadian serupa—pemblokiran massal terhadap akun pengguna tanpa alasan yang jelas. Kala itu, gelombang protes yang masif membuat Pinterest akhirnya mengakui kesalahan sistem internal mereka dan mengajukan permintaan maaf terbuka.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah perusahaan sebesar Meta juga akan bertanggung jawab secara terbuka terhadap para penggunanya?
Dampak Serius: Hilangnya Mata Pencaharian
Bagi sebagian pengguna, akun Instagram bukan sekadar media sosial, tetapi alat utama mencari nafkah. Banyak yang menjadikan platform ini sebagai media promosi bisnis, sumber penghasilan konten kreator, hingga lapangan kerja utama.
“Saya sangat bergantung pada Instagram. Ini pekerjaan penuh waktu saya. Sekarang saya kehilangan akses, dan tidak tahu harus bagaimana,” ungkap salah satu korban yang akun bisnisnya mendadak lenyap.
Tak hanya kehilangan pemasukan, beberapa pengguna juga melaporkan kerusakan reputasi akibat tuduhan pelanggaran berat yang diumumkan Instagram sebagai alasan blokir. Yang paling mengejutkan adalah tudingan soal “eksploitasi seksual anak,” yang secara langsung mencoreng nama baik korban secara sosial maupun profesional.