Selain itu, langkah DOGE memantau aplikasi internal seperti Microsoft Teams, serta potensi integrasi Grok dalam proses pemangkasan birokrasi, membuka perdebatan lebih luas mengenai transparansi kebijakan efisiensi. Apakah ini benar-benar langkah menuju reformasi? Ataukah justru merupakan bentuk sentralisasi kendali yang dikamuflase sebagai inovasi teknologi?
Tak dapat dimungkiri bahwa penerapan teknologi, khususnya AI, dalam sektor pemerintahan memiliki potensi luar biasa untuk meningkatkan efisiensi, mempercepat pengambilan keputusan, dan mengurangi korupsi. Namun ketika alat canggih itu digunakan untuk mengawasi dan menilai loyalitas pegawai, garis batas antara efisiensi dan pelanggaran hak sipil menjadi kabur.
Kejadian ini juga menunjukkan bahwa dalam era digital seperti sekarang, kekuatan informasi tidak hanya terletak pada apa yang dikatakan, tetapi juga bagaimana teknologi membaca, menyimpan, dan memanfaatkannya untuk kepentingan tertentu. Apakah ini awal dari era "AI Surveillance Government"? Atau justru akan memicu gelombang resistensi dari kalangan sipil dan LSM?
Yang jelas, publik kini dihadapkan pada dilema besar: antara menerima teknologi sebagai solusi birokrasi atau menolak pengawasan digital yang merusak fondasi demokrasi.