Seorang ahli etika pemerintah dari Universitas Washington, Kathleen Clark, menyoroti penggunaan Signal ini sebagai potensi pelanggaran hukum. Ia menegaskan bahwa setiap komunikasi yang tidak diarsipkan sebagaimana mestinya dapat dianggap melanggar undang-undang federal, terutama jika digunakan dalam konteks kebijakan pemerintahan yang penting.
"Jika mereka menggunakan Signal dan tidak mencadangkan pesan-pesan tersebut ke dalam arsip federal, maka itu sudah bertentangan dengan hukum," jelas Clark.
Sementara itu, Elon Musk—yang selama ini dikenal sebagai pionir teknologi melalui perusahaannya seperti Tesla, SpaceX, dan Neuralink—dikabarkan memang telah lama mendorong penggunaan AI untuk menggantikan sebagian besar pekerjaan administratif di lembaga pemerintah. Visi Musk adalah menciptakan sistem berbasis AI yang mampu menangani data besar dan tugas birokrasi dengan efisien, cepat, dan bebas dari kepentingan politik internal.
Namun, implementasi ambisius ini jelas tidak datang tanpa kritik. Penggunaan AI sebagai alat pengawasan dalam instansi pemerintahan menimbulkan pertanyaan besar tentang batas etika teknologi, potensi penyalahgunaan kekuasaan, serta ancaman terhadap kebebasan berbicara dan opini dalam struktur negara demokratis.
Meskipun belum ada pernyataan resmi dari pihak Gedung Putih maupun dari Elon Musk sendiri mengenai skala penggunaan AI ini, laporan dari Reuters telah cukup membuat masyarakat sipil dan para pengamat kebijakan teknologi mulai menyoroti dampak jangka panjang dari kolaborasi antara teknologi dan kekuasaan.
Beberapa kalangan bahkan menyamakan situasi ini dengan “pengawasan digital ala negara otoriter,” meski dijalankan di negara yang mengusung demokrasi. Apalagi, fakta bahwa teknologi dipakai untuk mencari ekspresi yang dianggap “memusuhi” figur tertentu, menimbulkan kekhawatiran bahwa ini bisa menjadi alat represi terselubung.