Dengan demikian, produsen ponsel yang ingin tetap menjual produk mereka dengan dukungan penuh dari ekosistem Google wajib mematuhi standar baru ini. Tanpa memenuhi ketentuan ini, perangkat mereka tidak akan bisa mendapatkan sertifikasi GMS, yang artinya tidak bisa menjalankan layanan-layanan utama Google yang menjadi daya tarik utama sistem Android.
Langkah Google ini tampaknya selaras dengan tren regulasi di wilayah lain. Uni Eropa, misalnya, juga menerapkan aturan baru terhadap penjualan ponsel dan tablet di wilayahnya. Mulai 20 Juni 2025, perangkat yang dijual di kawasan tersebut harus disertai label yang menunjukkan efisiensi energi, daya tahan baterai, dan kemudahan perbaikan.
Label ini mirip dengan yang sudah diterapkan sebelumnya untuk produk rumah tangga dan televisi, dan kini diperluas ke perangkat mobile. Dalam label tersebut, konsumen bisa melihat nilai efisiensi dari skala A hingga G, serta ketahanan terhadap air dan debu melalui tingkat IP, dan kemampuan perangkat bertahan dari benturan atau terjatuh.
Selain itu, baterai pada perangkat harus mampu mempertahankan setidaknya 80% dari kapasitas aslinya setelah 800 kali pengisian daya. Produsen juga diwajibkan memastikan ketersediaan komponen suku cadang dalam waktu 5 sampai 10 hari kerja apabila dibutuhkan untuk perbaikan. Tujuannya jelas: mendorong produk yang lebih ramah lingkungan dan lebih mudah diperbaiki oleh pengguna, mengurangi limbah elektronik, serta memperpanjang umur perangkat.
Pabrikan pun dituntut untuk menyediakan pembaruan sistem operasi dalam kurun waktu maksimal 6 bulan sejak kode sumber tersedia. Ketentuan ini diberlakukan untuk HP dan tablet dengan layar hingga 17,4 inci, termasuk juga telepon rumah nirkabel serta feature phone. Namun, ada pengecualian untuk ponsel dengan layar yang bisa digulung, karena perangkat jenis ini belum benar-benar tersedia di pasaran dan masih dalam tahap pengembangan.