Penegasan dari Pemerintah dan Otoritas Saudi
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Dirjen PHU) Kementerian Agama RI, Hilman Latief, membenarkan bahwa pemerintah Indonesia tidak mendapat informasi apapun tentang pembukaan visa furoda untuk tahun ini dari pihak Saudi. Ini sejalan dengan keputusan resmi dari otoritas Kerajaan.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU), pemerintah Indonesia hanya bertanggung jawab pada kuota resmi: 98% untuk haji reguler dan 2% untuk haji khusus (ONH Plus). Visa furoda, atau yang biasa disebut visa mujamalah, bukan bagian dari tanggung jawab negara.
"Visa mujamalah itu jalur undangan dari pemerintah Arab Saudi yang pengurusannya dilakukan oleh travel. Pemerintah tidak bisa intervensi," kata Hilman.
Kerugian Travel dan Kekecewaan Jemaah
Dampak dari keputusan ini begitu besar. Menurut Abdullah Mufid Mubarok, Ketua Bidang Humas dan Media DPP AMPHURI, banyak travel telah membayar biaya layanan Masa’ir (Arafah, Muzdalifah, Mina), membooking tiket pesawat, hingga membawa calon jemaah ke Jakarta dengan harapan visa keluar di detik terakhir.
Beberapa calon jemaah bahkan telah menyetorkan ratusan juta rupiah sejak Ramadan. Salah satunya adalah Naufal (31 tahun) yang berencana berangkat bersama istrinya.
"Kalau memang tidak bisa berangkat, saya minta uangnya dikembalikan sepenuhnya atau kami diberangkatkan tahun depan," ujarnya dengan nada kecewa.
Kekecewaan calon jemaah ini menjadi pelajaran penting, bahwa sistem keberangkatan ibadah suci tidak bisa semata mengandalkan janji travel. Harus ada pengawasan, kejelasan regulasi, dan edukasi kepada masyarakat agar mereka lebih berhati-hati dalam memilih jalur haji.
Himbauan Penyelesaian Damai
Mustolih Siradj mengimbau agar masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan. Ia juga mengapresiasi langkah beberapa travel yang memilih untuk mengembalikan dana penuh kepada jemaah demi menjaga kepercayaan dan nama baik di mata publik.