Gerakan Islam modern telah menjadi topik hangat dalam diskusi sosial dan politik di banyak negara. Dalam dekade terakhir, pertumbuhan gerakan dakwah telah menarik perhatian baik dari kalangan muslim maupun non-muslim. Di satu sisi, banyak yang memandang gerakan ini sebagai upaya untuk memperkuat identitas Islam dalam konteks yang semakin kompleks. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa gerakan ini cenderung eksklusif, menutup diri dari dialog dengan kalangan lain. Pertanyaan yang muncul adalah: apakah gerakan Islam modern ini inklusif atau eksklusif?
Salah satu ciri utama dari gerakan dakwah adalah penekanan pada pentingnya identitas Islam. Dalam konteks globalisasi yang semakin mengaburkan batas-batas identitas, banyak umat Islam merasa perlu untuk menegaskan kembali jati diri mereka. Dalam banyak kasus, gerakan dakwah ini berusaha untuk mengamarahkan kembali prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Pemikiran ini seringkali berpedoman pada Al-Qur'an dan hadis sebagai sumber rujukan utama. Dengan begitu, mereka berharap dapat membangun narasi umat yang lebih kuat dan terfokus.
Namun, problem muncul ketika narasi umat ini diinterpretasikan secara sempit. Beberapa gerakan mengambil sikap eksklusif terhadap golongan lain. Kalangan ini beranggapan bahwa hanya kelompok mereka yang memahami ajaran Islam dengan benar, sehingga cenderung meminggirkan interpretasi dan praktik berbagai kelompok lain. Misalnya, dalam diskusi mengenai perbedaan madhhab, mereka seringkali menolak dialog dan memilih untuk menjauh dari pandangan yang berbeda, yang pada gilirannya dapat memicu konflik internal di antara umat Islam sendiri.