Pabrik perakitan iPhone milik Foxconn di India mendapat kunjungan mendadak dari pejabat Departemen Tenaga Kerja India. Kunjungan ini terkait dengan kebijakan perusahaan yang menolak mempekerjakan perempuan yang sudah menikah. Reuters melaporkan bahwa 5 perwakilan dari kantor wilayah departemen tenaga kerja Tamil Nadu datang ke pabrik tersebut dan berbicara langsung dengan direksi perusahaan.
A. Narasaiah, komisioner tenaga kerja wilayah, menyatakan bahwa pihaknya mengumpulkan informasi terkait kebijakan perusahaan, kebijakan penerimaan tenaga kerja, bukti kepatuhan perusahaan terhadap aturan ketenagakerjaan, serta informasi seputar tunjangan hamil dan pensiun. Narasaiah juga menambahkan bahwa perusahaan membantah adanya tindakan diskriminatif dalam kebijakan penerimaan tenaga kerja.
Sebelumnya, laporan investigasi Reuters mengungkapkan bahwa Foxconn secara sistematis mengecualikan perempuan menikah dalam perekrutan pegawai di pabrik iPhone di India. Praktik ini dilonggarkan selama periode produksi tinggi karena perempuan menikah dianggap memiliki banyak tugas keluarga, berisiko hamil, dan lebih sering absen dibandingkan dengan perempuan lajang.
Selain itu, investigasi juga menemukan bahwa Foxconn melonggarkan kebijakan tersebut selama periode produksi tinggi. Berita ini mencuatkan debat di saluran televisi, editorial surat kabar, dan mendapat panggilan dari figur oposisi dan kelompok perempuan, termasuk dari dalam partai Modi, untuk menyelidiki masalah tersebut.
Tindakan razia oleh pejabat India ke pabrik iPhone merupakan respons atas perintah kantor Perdana Menteri India Narendra Modi. Namun, Narasaiah menyatakan bahwa pihaknya tidak berencana untuk menyelidiki agen tenaga kerja Foxconn.
Berdasarkan hasil razia, terungkap bahwa pabrik iPhone di India saat ini mempekerjakan 41.281 orang, di antaranya 33.360 perempuan. Dari jumlah tersebut, sekitar 8 persen atau sebanyak 2.750 perempuan ternyata adalah perempuan menikah.
Sebelumnya, Apple dan Foxconn telah mengakui kelalaian dalam pengawasan kebijakan penerimaan pegawai sepanjang tahun 2022. Namun, praktik diskriminasi terhadap perempuan yang ditemukan oleh Reuters terjadi pada 2023 dan 2024.