Mahasiswa bahkan menggelar aksi yang lebih besar, termasuk demonstrasi massif dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Dalam beberapa kejadian, aksi ini berujung pada kerusuhan, dengan mahasiswa membakar berbagai atribut yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah serta simbol-simbol perusahaan besar yang dianggap bertanggung jawab atas berbagai kebijakan yang merugikan buruh. Situasi ini menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja tidak hanya menjadi masalah bagi buruh, tetapi juga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan akademisi dan aktivis sosial.
UU Cipta Kerja dinilai membawa perubahan signifikan dalam dunia ketenagakerjaan melalui pemberian kemudahan bagi pelaku usaha untuk mempekerjakan dan memecat karyawan. Dalam pandangan sebagian pengusaha, ini adalah langkah progresif untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja baru. Namun, bagi buruh, hal ini justru menggambarkan adanya pengabaian atas hak-hak dasar mereka. Misalnya, pengurangan batasan jam kerja dan aturan terkait cuti melahirkan semua kembali pada kepentingan bisnis daripada perlindungan pekerja.
Disisi lain, pemerintah mengklaim bahwa dengan berlakunya Ciptaker, Indonesia akan lebih cepat menarik investasi asing dan lokal yang tentunya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, data dari berbagai survei menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin menurun, dengan kritik tajam datang dari berbagai sektor. Buruh menilai Ciptaker sebagai langkah mundur dalam perlindungan hak-hak mereka, sementara mahasiswa sangat khawatir tentang masa depan pekerjaan mereka di tengah kebijakan yang cenderung memudahkan PHK.