Tampang

Tantangan Ideologi: Kapitalisme versus Keadilan Sosial di Indonesia

8 Nov 2017 17:12 wib. 2.667
0 0
syahganda nainggolan

Konsep keadilan sampai saat ini terus berkompetisi antara mazhab liberalism dan sosialisme (agama). Liberalisme mengajarkan konsep individualistas. Sebaliknya, sosialisme/komunalisme (agama) mengajarkan konsep berbagai atau kepentingan bersama/social.

Ketika Margaret Tatcher berkuasa di Inggris, era 80 an, dia menganut dan mengumandangakan prinsip bahwa di dunia ini tidak dikenal komunitas social, yang ada hanyalah para individu dan keluarga. Kedua, semua hal tentang bernegara dan berbangsa harus dengan kata kunci efisiensi.Ketiga, prinsip lainnya adalah “survival for the fittest”, yakni setiap orang harus berjuang untuk dirinya sendiri. Peranan negara yang adil  hanyalah memastikan adanya kompetisi pasar sempurna  dan efisien untuk setiap individual dan mengurus sedikit orang orang lemah yang butuh bantuan social, karena kalah dalam kompetisi pasar. Untuk itu dia mulai melakukan privatisasi BUMN BUMN, sekolah sekolah, rumah sakit rumah sakit, dlsb.,  yang sebelumnya dikelola Negara untuk lebih berwajah social, menjadi institusi yang dimiliki dan digerakkan swasta. Pada saat itu, pandangan Tatcher ini diikuti oleh Amerika yang dipimpin Ronald Reagen, sehingga pada akhirnya menciptakan perubahan dunia, khususnya eropa barat, yang lebih berwajah sosialistik, menjadi liberal.

Keadilan social versi sosialis (dengan segala variannya) dan agama, khususnya Islam, justru menempatkan pentingnya keadilan social dan usaha usaha yang dikelola secara social. Olehkarenanya, semua eksistensi dan fungsi institusi Negara dan masyarakat harus memperjuangkan keadilan sosial dalam agenda utama. Dalam peta sosiologi politik tentang masyarakat, Negara harus bersifat “weberian” yang eksisi dan memiliki kekuatan, bukan merupakan proxy kepentingan kapitalis. Public sphere harus eksis dalam kehidupan yang terpisah dari market sphere. Misalnya, pendidikan harus dikelola oleh Negara untuk menciptakan keadilan dan mencerdaskan semua masyarakat.


Pancasila dan Keadilan Sosial

Pancasila sebagai ideologi, jika merujuk pada proklamasi adalah sintesa dari wajah Islam dan Sosialisme. Mayoritas pendiri bangsa kita menolak liberalism dan kapitalisme masuk dalam sendi sendi ajaran dan faham dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadilan social dalam sila kelima Pancasila adalah berwajah sosialistik agamis, bukan versi individualistic liberal.

Pada saat reformasi terjadi, mulailah faham liberal dan kapitalistik muncul kepermukaan. Hal ini terjadi karena sebelumnya pendidikan kita selama 32 tahun mengadopsi pikiran pikiran liberal barat. Semua universitas menggunakan buku-buku dari kebajikan barat dan dosen dosen yang berbakat disekolahkan ke kampus kampus di barat. Kampus, seperti UGM, misalnya, berusaha menciptakan mazhab sendiri perihal keadilan social ini, yang terkenal dengan mazhab “ekonomi Pancasila” di masa  lalu. Kampus kampus universitas Islam dan IAIN juga berusaha membangun teori keadilan social berbasisi Islam sebagai alternative. Namun, saat ini upaya itu terancam sirna. Kelihatannya dominasi pemikiran individualistic dan liberalistik sudah tidak dapat dihindari. Hal itu tercermin mulai dari perubahan UUD45, khususnya pasal 33 dengan memasukkan istilah demokrasi ekonomi, disamping kita mengadopsi sistem demokrasi liberal barat, sebagai “pairing” nya di politik, sampai saat ini, misalnya, dimana pemerintah sejak reformasi, tidak merasa bersalah menganut faham kapitalisme dan neoliberalisme.

Tantangan Keadilan Sosial: Kasus Meikarta dan Reklamasi

Sejak reformasi, kita melihat kesenjangan social di Indonesia terus membesar. Kesenjangan social yang diukur melalui pengeluaran (konsumsi) sepanjang 5 tahun ini sekitar 0,4 (Koefisien Gini). Namun, kesenjangan social berbasis income belum pernah dirilis. Sedangkan kesenjangan social berbasis asset produktif, tentu jauh lebih parah.  Ombusman Republik Indonesia, awal tahun ini merilis  bahwa 0,2% orang menguasai tanah seluas 74% Indonesia. Di kota tanah tanah itu berbentuk asset produktif dengan mal-mal, pusat hiburan, perkantoran yang terbangun mewah. Di pedesaan, tanah tanah itu berupa perkebunan, pertambangan, minyak, kawasan pantai dan lain sebagainya. Jika asset produktif ini menciptakan inkom bagi kapitalis, maka sudah dipastikan kesenjangan social berbasis asset berbanding lurus dengan kesenjangan berbasis inkom. Sehingga, jika Negara bisa meneliti lebih detail, maka sesungguhnya koefisien Gini di Indonesia pasti sudah jauh diatas angka resmi pemerintah.
Di Perkotaan, kesenjangan ini dipicu oleh kelomok bisnis properti yang mampu mengatur Negara. Fungsi social tanah untuk menciptakan keadilan social, sebagai mana tersirat dalam UU Pokok Agraria dan spirit Land reform di jaman awal kemerdekaan, berubah menjadi fungsi bisnis semata. Dalam kasus reklamasi Jakarta, kelompok properti mengatur sedemikian rupa agar tercipta suatu pemukiman orang orang kaya yang mengontrol akses laut Jakarta, dengan meminggirkan rakyat kecil, seperti nelayan, dan kaum miskin kota. Bahkan, dengan situasi lesunya pasar property dan marketing properti ini di arahkan dengan bahasa Mandarin, projek reklamasi ini, dengan rencana jutaan penghuni, memang diarahkan hanya untuk kepentingan segelintir orang, bisa hanya untuk kepentingan bisnis, namun bisa juga untuk kepentingan politik asing.

Dalam kasus Meikarta, kita juga melihat penguasaan lahan daerah daerah pinggiran Jawa barat oleh segelintir pengusaha semakin nyata. Atas dukungan rezim yang berkuasa, melalui program KCIC (Kereta Cepat Indonesia China) Bandung Jakarta, yang dibiayai negara via hutang ke dan investasi China, projek Meikarta menyulap kawasan pertanian menjadi bisnis property triliunan rupiah. Meski pembangunan kota seluas antara 500 HA sd 2000 HA ini belum ada ijin dan belum masuk RTRW (Rencana tata Ruang dan Wilayah), swasta kapitalis tidak perduli, tetap jalan dalam memasarkan produknya, baik di dalam negeri secara ritel, maupun kepada investor asing. Kita melihat bahwa negara berkorban melakukan support atas projek projek swasta besar, yang pastinya tidak menguntungkan rakyat dalam dampak langsung, misalnya, apa dan siapa yang diuntungkan dari adanya KCIC dalam peningkatan value tanah disekitar lintasan KCIC?
Tentu banyak peristiwa atau projek projek lainnya yang di Indonesia berkembang bukan dalam konteks “developmentalism”. 

Keadilan Sosial: Anomali Jakarta

Keadilan social adalah barang mahal buat bangsa Indonesia. Kita semakin jauh terseret pada kapitalisme dan neoliberalisme. Bergerak dari Plutokrasi ke Corporatism. Hampir semua institusi social dan politik menjadi pengabdi pemilik modal, khususnya karena mahalnya biaya demokrasi. Namun, suatu hal yang menarik kita saksikan di Jakarta baru baru ini.

Tantangan bagi upaya keadilan social kita saksikan di Jakarta. Gerakan rakyat menuntut keadilan social pada Pilkada Jakarta digambarkan oleh sosok pengabdi kapitalis, Ahok, versus sosok sosialistik, agamis dan kerakyatan, Anis Beswedan. Pada pesta demokrasi yang menghabiskan uang puluhan triliun rupiah ini, kekuatan rakyat ternyata mampu mengalahkan ambisi kapitalis menguasai total Jakarta. Tema-tema anti kapitalis, seperti tolak Reklamasi Jakarta, bubarkan Alexis (diasumsikan sebagai “peternakan pejabat korup”),  majukan kaum pribumi, kembangkan semangat komunal dan agamis, serta lainnya. Meskipun pertarungan kelompok kapitalis melawan kelompok pro-keadilan social terjadi dengan mengambil banyak korban, namun kemenangan kelomok Anies Sandi membawa harapan pernanan Negara bisa muncul lagi di Indonesia.

Pertanyaannya, apakah kondisi di Jakarta itu dapat diadopsi di bandung dan di jawa barat? Semua ini tentunya berpulang pada kemampuan gerakan rakyat mengidentifikasi pemimpin-pemimpin antek kapitalis dan kelemahannya serta pengorganisasian rakyat untuk menang.
 

<12>

0 Komentar

Belum ada komentar di artikel ini, jadilah yang pertama untuk memberikan komentar.

BERITA TERKAIT

BACA BERITA LAINNYA

POLLING

Apakah Aturan Pemilu Perlu Direvisi?