Sejumlah pakar hukum juga menyuarakan kekhawatiran serupa. Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie, DPR tidak boleh seenaknya membuat aturan yang melampaui batas kewenangannya.
"DPR itu pembuat undang-undang, bukan eksekutor. Jika DPR bisa mengevaluasi pejabat publik di luar yang sudah diatur dalam konstitusi, ini akan menjadi preseden buruk dalam sistem ketatanegaraan kita," kata Jimly.
Revisi Tatib DPR ini dianggap bertentangan dengan prinsip check and balances, yang seharusnya menjadi mekanisme utama dalam demokrasi. Dengan mengambil kewenangan lebih besar, DPR berpotensi melemahkan peran lembaga lain, termasuk lembaga yudikatif dan eksekutif.
Pakar hukum tata negara Feri Amsari menyoroti bahwa aturan ini bisa membuat DPR lebih leluasa dalam mengontrol lembaga negara lain yang semestinya independen.
"DPR harus memahami batasan kekuasaannya. Jangan sampai DPR justru menjadi lembaga yang superior dan bisa mengendalikan pejabat publik di luar mekanisme yang seharusnya," ujarnya.
Melihat polemik yang berkembang, sejumlah pihak mulai mendorong pengujian yudisial (judicial review) terhadap revisi Tatib DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah ini dianggap perlu untuk memastikan bahwa aturan yang dibuat DPR tidak bertentangan dengan UUD 1945.