Lepas dari segala tetak bengek urusan pemilu, perilaku parpol di Indonesia masih kental dengan bau pragmatismenya. Jokowi yang membutuhkan dukungan parlemen untuk menguatkan pemerintahnya mengambil PAN sebagai rekanan koalisi. Sebaliknya, PAN yang tidak berdarah-darah memenangkan Jokowi ingin mencicipi kekuasaan.
Jika diperhatikan, masuknya PAN dan Golkar (secara resmi) ke dalam koalisi justru membuat pemerintahan Jokowi sempoyongan. Beragam konflik internal kabinet baru bermunculan setelah koalisi Jokowi bertambah tambun sejak akhir 2015.
Pasalnya, koalisi yang terjadi hanya menyentuh para elit parpol, itu pun tidak seluruhnya. Sebaliknya, dengan semakin kacaunya pemerintahan Jokowi, tidak sedikit para pendukung Jokowi yang bergeser, bahkan berbalik arah.
Pergeseran para pendukung Jokowi ini setidaknya terlihat sejak Kejaksaan Agung terkesan lembek dalam mengusut kasus Papa Minta Saham yang menyeret nama Setya Novanto. Terlebih setelah Jokowi menggandengn Golkar masuk ke dalam koalisi. Bahkan terkesan mendukung pencalonan Setya sebagai Ketua Umum Golkar.
Kembali ke posisi PAN yang mulai digoyang. Bagi PAN, didepak atau tidak dari kabinet tidak menjadi soal. Jika ditendang, PAN hanya kelihangan sejumlah asset dan akses ke dalam pemerintahan yang tidak seberapa dibanding dengan potensi suara yang yang diincarnya pada Pemilu 2019.
Bagi Jokowi pendepakan PAN bukanlah persoalan mudah, Dicoretnya PAN pastinya akan mengosongkan 1 kursi kabinet. Kursi ini pastinya akan diperebutkan oleh PDIP, Nasdem, Hanura, PKB, PPP, dan Golkar. Jika Jokowi dinilai tidak adil, maka akan menciptakan konflik baru di antara parpol koalisi.
Masalah lagi, beberapa bulan lagi bangsa ini memasuki tahun politiknya. Satu tahun jelang pemilu, biasanya akan terjadi berbagai akrobat politik. Dan, tidak jarang dari akrobat para politisi itu yang menimbulkan kegaduhan. Tentu saja kegaduhan yang terjadi akan semakin merugikan pemerintah Jokowi.