oleh: DR Deny JA
Bagaimanakah kelak sejarah akan mengenang Jokowi setelah terbitnya Perppu Ormas (Perpu No 2 tahun 2017)? Seandainya karena kemampuan politiknya Perpu Ormas ini lolos dari judicial review MK dan disahkan pula oleh DPR, akankah Jokowi dikenang sebagai strong leader yang tegas mengambil sikap di era kegentingan?
Ataukah Jokowi akan dikenang sebagai tokoh yang membalikkan Indonesia ke era "demokrasi seolah olah," atau sebagai bapak anti hak asasi manusia?
Washington Post, 12 Juli 2017, koran kelas dunia, mengutip respon organisasi ternama Human Right Watch yang berbasis di Amerika Serikat. Menurut organisasi ini Perpu Ormas itu pelanggaran serius terhadap kebebasan hak asasi manusia.
Tempo.co menurunkan tulisan potensi bahaya perpu ini karena memberi kekuasaan terlalu besar kepada pemerintah membubarkan Ormas tanpa perlu lewat pengadilan? Dengan demikian, ormas tersebut tak diberikan hak membela diri, adu bukti atas tuduhan, sebelum ormas itu dibubarkan.
Namun tak kurang pula pendukung Jokowi soal Perpu Ormas itu. Mereka menganggap "ada kegentingan memaksa."UU ormas lama tak lagi bisa digunakan. Perlu jalan pintas Perpu agar ideologi yang anti Pancasila cepat dibubarkan sebelum membesar dan menelan Pancasila, NKRI, dan sejenisnya.
Para pengambil keputusan, juga tokoh berpengaruh yang peduli, selayaknya memang merenung lebih dalam. Sebenarnya Indonesia ini akan diarahkan kemana? Benarkah kita inginkan demokrasi modern dengan segala getahnya?
Dalam prinsip demokrasi, memang banyak hal seolah olah tidak efisien. Untuk membubarkan ormas sebagai misal harus bertele tele lewat sidang pengadilan. Tapi demokrasi memang dibangun untuk itu. Tak boleh ada kekuasaan yang merasa paling benar lalu secara sepihak bisa membungkam hak berserikat warga. Pengadilan ditemukan sistem demokrasi sebagai wadah untuk menguji siapa yang benar. kedua belah pihak diberi kesempatan dulu untuk adu data.
Dalam demokrasi, memang banyak hal seolah mengancam kelangsungan negara. Aneka paham dibolehkan hidup dan menyebar. Tapi demokrasi memang dibangun untuk itu. Soal keyakinan agama saja tak ada paksaan, apalagi soal pilihan ideologi.
Warga negara bebas memiliki keyakinan ideologinya. Demokrasi menyediakan ruang publik agar aneka paham itu bertarung secara damai. Biarkan rakyat yang kemudian memilih dalam pemilu. Sat satunya yang dilarang: tak boleh ada pemaksaan dan kekerasan.
Jika disederhanakan prinsip demokrasi itu seperti yang dinyatakan Voltaire: Saya tak setuju pendapat tuan. Tapi hak tuan menyatakan pendapat itu akan saya bela sampai mati.
Kita tak bisa membangun negara modern sambil memaksakan semua warga negara harus setuju pada satu paham saja. Walaupun paham yang kita maksudkan adalah ideologi negara. Kesadaran individu itu berevolusi dan tak bisa diseragamkan.
Namun negara harus tertib. Kebebasan dan keberagaman warga harus dilindungi. Karena tak semua individu itu buruk, dan tak semua pejabat negara itu malaikat, harus diciptakan sistem check and balance. Tak ada lagi prinsip "the king can do no wrong." Superman itu tak ada di dunia nyata. Raja dan presiden bisa salah.
Pengadilan adalah buah paling ranum peradaban modern untuk menguji siapa yang salah. Kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat terlalu penting untuk diberangus tanpa lewat pengadilan.