Tampang.com | Dalam perkembangan hukum di Indonesia, dua buah regulasi penting yang tengah menjadi sorotan adalah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Kedua regulasi ini mencerminkan bagaimana negara berusaha mengatur dan mengontrol aspek-aspek dalam kehidupan individu, baik dalam konteks hukum pidana maupun perlindungan data. Sementara RKUHP mencakup berbagai aspek keadilan sosial dan keamanan, UU PDP menekankan pentingnya privasi dan perlindungan data pribadi di era digital.
RKUHP, sebagai pengganti KUHP yang sudah ada sejak zaman kolonial, mengalami banyak revisi dan perdebatan. Salah satu isu yang paling banyak diperbincangkan adalah potensi penegakan hukum yang memberi kekuasaan lebih kepada negara. RKUHP mencakup berbagai pasal yang berkaitan dengan kontroversi, seperti pasal tentang larangan penghinaan terhadap penguasa dan lambang negara, yang dapat digunakan untuk melakukan sensor terhadap kritik publik. Hal ini memunculkan keraguan tentang kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia di Indonesia, di mana ketidakjelasan definisi dari beberapa pasal memberikan banyak ruang bagi penafsiran subjektif oleh aparat hukum.
Di sisi lain, UU PDP yang baru disahkan diharapkan dapat memberikan perlindungan lebih pada data pribadi masyarakat. Dalam era digital saat ini, data pribadi menjadi komoditas yang sangat berharga dan rentan terhadap penyalahgunaan. Dengan adanya UU PDP, diharapkan individu memiliki kontrol lebih terhadap data pribadi yang mereka miliki. Namun, di balik niat baik untuk melindungi data pribadi, muncul pertanyaan besar mengenai sejauh mana negara akan campur tangan dalam pengelolaan data tersebut. Apakah regulasi ini akan berfungsi untuk melindungi rakyat, atau justru sebagai alat untuk memantau dan mengontrol warganya?