Entah strategi apa yang tengah dilancarkan Jokowi lewat sistem presidential threshold dalam pelaksanaan pemilu serentak yang bakal mulai dihelat sejak 2019.
Presidential threshold, apakah itu dipraktekan pada pemilu tidak serentak (pelaksanaan pileg mendahului dan dan pilpres) ataukah digelar secara serentak (pileg dan pilpres dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan pada hari yang sama), tetap saja merupakan racun bagi demokrasi.
Lebih dari 4 tahun yang lalu, sebelum presidential threshold (PT) diributkan seperti sekarang ini, lewat artikel http://www.kompasiana.com/gatotswandito/dampak-presidential-threshold-yang-tidak-terpikirkan-dpr-dan-para-pakar_552844356ea8347f2a8b45bc uneg-uneg tentang buruknya PT sudah diposting di Kompasiana.
Dan, ketika Mahkamah Konstitusi menerima uju materi yang diajukan Effendi Ghozali tentang penyelenggaraan pemilu serentak, maka secara otomatis, logikanya, sistem PT sudah tidak mungkin dipraktekkan lagi.
PT sendiri baru dipraktekkan sejak Pilpres 2009. Pemerintah waktu itu beralasan PT akan membuat presiden terpilih lebih memiliki legitimasi.
Jika alasannya hanya karena masalah legitimasi, bukankah dalam pilpres sudah ada aturan pemenangnya harus mengantongi lebih dari 50% suara.
Selain itu, pemenang harus meraih minimal 20% suara di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provonsi di Indonesia.
Dengan dipratekkannya persyaratan ambang batas 20% untuk kursi DPR RI dan 25% untuk suara, maka pilpres hanya diikuti maksimal 4 pasangan capres-cawapres. Tetapi, dalam pelaksanaannya, pilpres hanya diikuti maksimal 3 pasangan (Pilpres 2009 diikuti 3 pasangan, Pilpres 2014 diikuti 2 pasangan).
Sebaliknya, ketika PT tidak dipakai pada Pilpres 2004 (pilpres pertama yang digelar secara langsung) jumlah kandidat bisa mencapai 5 pasangan.
Tetapi, karena pemilu digelar tidak serentak (pileg mendahului pilpres), maka PT mengacu pada hasil pileg pada periode/tahun yang sama. PT untuk Pilpres 2009 merujuk pada hasil Pileg 2009. PT untuk Pilpres 2014 mengacu pada hasil Pileg 2014.
Tanpa adanya PT, semua parpol yang berpartisipasi dalam pemilu pada periode tersebut bisa mengajukan pasangan capres-cawapres. Meski parpol tersebut tidak lolos ke Senayan.
Sementara, dalam RUU Pemilu (sudah disetujui DPR RI, tetapi belum diteken Presiden RI), PT menggunakan hasil pileg periode sebelumnya, atau hasil pileg 5 tahun yang lalu. Dengan demikian, PT untuk Pilpres 2019 menggunakan hasil Pileg 2014.