Ketiga kartu As tersebut ternyata gagal membalikkan situasi, bahkan dua diantaranya malah berbalik menyerang Ahok-Djarot menjadi isu negatif. Ingat, isu negatif menempati peringkat pertama yang sangat rentan mempengaruhi suara pemilih. Apa saja isu negatif yang melanda dan meluluhlantakkan Ahok-Djarot?
Pertama, iklan kampanye #GanyangCina.
Kedua, Steven Effect atau boleh juga disebut Tuan Guru Bajang Effect.
Ketiga, money politics dan cow politics.
Ketiga isu negatif itu tampaknya sedikit luput dari pengamatan lembaga survei. Bisa dipahami karena ketiga peristiwa terjadi di hari-hari akhir kampanye dan hari tenang putaran kedua.
Iklan kampanye #GanyangCina membuat umat Islam yang sebagian sudah berhasil diyakinkan bahwa Ahok tidak melakukan penistaan agama, kembali menjadi sangat marah. Penggambaran bahwa umat Islam adalah perusuh dan tukang ganyang cina, sementara etnis cina adalah pahlawan menjadi pedang bermata dua yang balik memburu Ahok.
Di satu sisi membuat umat Islam sangat marah dan bila dikapitalisasi efeknya bisa setara dengan penistaan surat Al Maidah 51. Sebaliknya penggambaran orang Islam tukang ganyang cina juga membuat komunitas etnis cina menjadi ketakutan karena diingatkan akan memori kerusuhan Mei 1998. Hal itu setidaknya terlihat di TPS 47 Kelurahan Wijaya Kusuma, Grogol Petamburan, Jakarta Barat yang menjadi TPS tempat kelas menengah etnis cina memilih.
Pada putaran pertama Ahok-Djarot menang di TPS ini. Namun pada putaran kedua ada 126 kertas suara yang tidak digunakan. Diduga para pemiliknya memilih pergi keluar kota atau keluar negeri. Akibatnya kemenangan Ahok di TPS ini menjadi menurun.
Steven Effect/Tuan Guru Bajang Effect. Kasus penghinaan Gubernur NTB Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi menjadi isu negatif yang daya rusaknya juga sangat kuat. Agar mudah diingat dan bisa menjadi istilah yang go international saya usulkan kita menyebutnya Steven effect saja. Namun, Anda boleh juga tetap menyebutnya sebagai Tuan Guru Bajang effect untuk menghormati tokoh muda yang juga ahli tafsir Al-Quran itu.
Penyebutan Steven effect ini setidaknya akan mengingatkan kita pada istilah dalam kamus politik yang sangat terkenal Bradley effect. Pada tahun 1982 Walikota Los Angeles Tom Bradley yang berkulit hitam maju untuk periode kedua. Sejumlah jajak pendapat menunjukkan bahwa Bradley akan terpilih kembali dengan dukungan yang sangat kuat.
Ketika pemilihan berlangsung ternyata Bradley kalah. Usut punya usut ternyata banyak pemilih kulit putih yang menyatakan mendukung Bradley karena takut dituduh rasis. Sebaliknya kasus Steven atau nama lengkapnya Steven Hadisurya Susilo adalah seorang anak muda etnis cina yang bersikap sangat kasar dan rasis. Dia memaki Tuan Guru Bajang dengan kata-kata rasis dan sangat kasar. “ dasar Indon, pribumi, Tiko.” Hanya karena salah paham dalam antrian di Bandara Changi, Singapura. Kata Tiko dalam dialek Hokkian sangat kasar bermakna Ti-anjing, haw-babi.
Bisa dibayangkan betapa marahnya masyarakat Indonesia. Bukan hanya yang beragama Islam, tapi mayoritas pribumi Indonesia, tanpa memandang apa agamanya. Steven effect sama seperti iklan #GanyangCina menjadi pedang bermata dua dengan efek yang lebih besar. Peristiwa itu memunculkan kemarahan kolektif melayu/ pribumi dan membuat komunitas etnis cina ketakutan. Steven dan keluarga sudah jauh-jauh hari kabur. Ketika rumahnya didatangi oleh warga NTB di Jakarta, rumahnya di kawasan Kebun Jeruk, Jakarta Barat itu sudah kosong.