Norma hukum jelas tidak melarang presiden mengungkapkan pendapat seperti itu ataupun memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon. Presiden sendiri yang mengajarkan kita bahwa presiden Republik Indonesia boleh mendukung dan berkampanye kepada salah satu calon. Tidak ada yang salah dengan pidato ini dalam konteks norma hukum formal di Indonesia.
Presiden dalam kalimat tersebut seperti tidak memberikan ruang kepada perbedaan pemikiran dalam konteks demokrasi. Pidato untuk “Pembangunan yang berkelanjutan” seakan memberikan vonis pada kelompok perubahan sebagai kelompok yang tidak menginginkan kemajuan Indonesia. Mereka yang tidak sejalan dengan pemerintahannya, tidak boleh ikut ambil bagian dalam Pembangunan Bangsa.
Perbedaan pendapat, pergantian kepemimpinan secara individu ataupun kelompok yang menyertainya, adalah sesuatu yang lazim dalam pemerintahan yang dilakukan secara demokrasi. Semua calon presiden yang berkompetisi dalam Pemilu pasti menginginkan hal terbaik untuk Indonesia, terlepas dari cara dan juga ideologi yang berbeda-beda. Selama tidak bertentangan dengan konsitusi, semuanya memiliki hak yang sama untuk mengemukakan cara terbaik untuk mengelola Republik Indonesia.
Sulit untuk berbicara mengenai norma dalam latar waktu Pemilu 2024 ini. Konsitusi sebagai hal yang sakral dan menjadi pedoman dalam penyelenggaraan negara saja bisa dimainkan untuk memuluskan tujuan-tujuan tertentu. Norma sosial yang sifatnya konvensi tentu bisa dimainkan dan perlahan diubah untuk membenarkan tindakan yang diambil.
Pembangunan tentu akan terus berlanjut, siapapun presiden yang diumumkan sebagai pemenang. Seperti yang diungkapkan Presiden, situasi global yang tidak menentu membawa bangsa ini pada keharusan untuk terus memperbaiki diri.
Jadi jikalau penulis boleh bertanya pada Presiden Republik Indonesia, pembangunan yang berkelanjutan atau kekuasaan yang berkelanjutan?
*) Pengamat, Doktor Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran (UNPAD), Jatinangor