Pada 24 September 2017, atau 2 hari setelah Radio Elshinta mencuit bocoran rekaman suara Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang menginformasikan adanya rencana pembelian 5.000 pucuk senjata militer oleh institusi non-militer, Menko Polhukam Wiranto memberikan keterangannya..
Dalam keterangannya, Wiranto membantah informasi yang disampaikan oleh Gatot saat menggelar pertemuan tertutup dengan purnawirawan perwira TNI di Mabes TNI pada 22 September 2017. Menurut Wiranto, jumlah senjata bukan 5.000 pucuk, tetapi hanya 500 pucuk senjata laras. Ke-500 pucuk senjata itu dibeli BIN dar PT Pindad.
Keterangan Wiranto tersebut kemudian diposisikan sebagai pelurusan atau klarifikasi atas informasi yang dibocorkan oleh Gatot. Dengan demikian, informasi yang dibocorkan oleh Gatot diposisikan sebagai hoax atau tidak benar.
Kurang dari seminggu setelah Wiranto memberikan keterangan pressnya, pada 30 September 2017, media memberitakan tentang ditahannya Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) Kal 40x46 mm sebanyak 280 pucuk beserta 5.932 butir Amunition Castior 40 mm oleh BAIS TNI
Ratusan pucuk senjata beserta ribuan amunisi bikinan Bulgaria yang diakui sebagai milik Polri itu ditahan di Bandara Soekarno-Hatta sejak kedatangannya pada malam hari tanggal 29 September 2017.
Dengan diberitakannya penahanan persenjataan impor yang disertai foto berikut pengakuan dari Polri sebagai pemiliknya, maka secara otomatis informasi yang dibocorkan oleh Gatot telah mendapatkan pembenarannya.
Tetapi, informasi yang dibocorkan Gatot tidak akan mendapatkan kebenarannya jika data yang dikeluarkan oleh Wiranto sama persis dengan data persenjataan milik Polri yang ditahan oleh BAIS.
Pertanyaannya, kenapa data yang dikeluarkan oleh Wiranto berbeda dari data persenjataan bikinan Bulgaria yang didatangkan oleh Polri?
Padahal dalam keterangannya, Wiranto mengaku sudah mengonfirmasikan persoalan ini kepada Kepala BIN, Kapolri, Panglima TNI, dan pihak-pihak terkait lainnya. Terlebih, Wiranto pun turut menghadiri silahturahmi purnawirawan Pati TNI di Mabes TNI saat Gatot membocorkan informasinya.
Pengiriman persenjataan dari luar negeri ke Indonesia pastinya telah melalui serangkaian tahap perizinan. Sebelum dikirimkan dari negara asalnya sampai tiba dan diturunkan di Bandara Soeta, seluruh perizinan pastinya sudah dilalui. Dan, untuk itu pastinya membutuhkan waktu yang tidak sedikit.
Karenanya, sangat kecil kemungkinan jika Wiranto tidak mendapatkan informasi tentang rencana kedatangan ratusan pucuk senjata dan ribuan amunisi di Bandara Soeta.
Dalam soal pengumpulan informasi dan mengolahnya, Wiranto bukanlah sosok yang bisa dipandang sebelah mata. “Selamatnya” Wiranto dari konflik 1998 merupakan bukti nyata atas kemampuan dalam mengumpulkan dan mengolah informasi.
Bagi Wiranto yang pada saat reformasi bergulir memegang tongkat komando ABRI, keakuratan informasi menjadi kunci atas tindakan-tindakan yang harus diambilnya.
Dalam situasi di mana tidak jelas lagi siapa kawan siapa lawan, sedikit saja kesalahan pada informasi atau salah dalam mengolah data, maka sejarah perjalan bangsa ini tidak bakal seperti sekarang ini.
Bahkan, sebagai pemain kunci 1998, keterlambatan atas pasokan dan olahan informasi dapat mengakibatkan kerusakan fatal. Ketepatan Wiranto yang datang mendahului Prabowo Subianto ke Cendana untuk menemui Presiden Soeharo menjadi buktinya.
Karenaya tidak mengherankan jika dalam situasi politik tanah ar seperti sekarang ini, Wiranto mendapat kepercayaan sebagai Menko Polhukam.