Kematian Jamal Khashoggi, seorang jurnalis dan pengkritik pemerintah Saudi, telah mengguncang dunia. Dalam suasana ketidakpastian dan penekanan terhadap kebebasan pers, kejadian tragis ini menjadi simbol dari tantangan yang dihadapi jurnalis di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang menerapkan rezim otoriter. Khashoggi, yang dikenal karena pandangan progresif dan kritisnya terhadap pemerintahan Arab Saudi, dikhianati dalam suatu misi yang seharusnya menjadikannya aman dan terjamin, tetapi berujung pada kematiannya yang mendalam dan penuh kekerasan.
Pada 2 Oktober 2018, Khashoggi memasuki Konsulat Saudi di Istanbul, Turki, untuk mengurus dokumen pernikahan. Namun, dia tidak pernah muncul kembali. Penyelidikan yang dilakukan oleh pihak berwenang Turki dan berbagai media internasional mengungkapkan bahwa Khashoggi diculik dan dibunuh oleh sekelompok agen Saudi yang dikirim khusus untuk menangani kritik terhadap pemerintah. Kejadian ini memicu kemarahan global dan mendesak banyak negara untuk menanggapi, terutama terkait dengan hak asasi manusia dan kebebasan pers.
Satu pertanyaan mendasar yang muncul adalah: bagaimana rezim Saudi dapat bertindak sedemikian rupa tanpa rasa takut akan konsekuensi? Situasi ini jelas menunjukkan adanya impunitas di kalangan aparat tertentu yang berada di bawah kekuasaan Raja Salman dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman. Banyak jurnalis, termasuk Khashoggi, menghadapi risiko tinggi saat mencoba melaporkan berita, mengungkap kebenaran, dan menyuarakan pendapat mereka. Kebebasan pers yang seharusnya dilindungi menjadi terancam, bukan hanya di Arab Saudi, tetapi juga di banyak bagian dunia lain di mana suara dissent bisa berakhir dengan represif berkembang.