Pada malam 22 Agustus 2020, kobaran api melahap Gedung Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Asap pekat membumbung tinggi dari bangunan yang selama ini menjadi simbol penegakan hukum tertinggi di tanah air. Alih-alih menjadi tragedi biasa karena korsleting atau keteledoran, kebakaran ini justru membuka ruang kecurigaan publik terhadap integritas hukum di negeri ini.
Kebakaran Gedung Kejagung bukan sekadar insiden fisik—ia adalah tragedi simbolik yang menyiratkan betapa rapuhnya institusi hukum. Gedung yang seharusnya menjadi tempat menjaga dan menyimpan bukti hukum justru terbakar habis, dengan banyak dokumen penting ikut lenyap. Pertanyaan yang menggema: apakah ini murni kecelakaan, atau bagian dari skenario penghilangan barang bukti?
Pihak Kejaksaan sempat memberikan penjelasan bahwa dokumen perkara penting tidak terdampak karena sudah terdigitalisasi. Tapi publik tak mudah percaya. Apalagi setelah Badan Reserse Kriminal Polri menetapkan enam tersangka dalam kasus kebakaran ini. Menurut hasil penyelidikan, api berasal dari tukang bangunan yang bekerja menggunakan lampu halogen dan bahan mudah terbakar seperti thinner di lantai enam. Sangat tidak masuk akal jika gedung vital negara dikerjakan tanpa pengawasan dan standar keamanan ketat.