Yang lebih mencurigakan, bahan-bahan bangunan yang mudah terbakar tersebut digunakan justru di gedung utama, bukan bangunan tambahan. Bukankah seharusnya perbaikan atau renovasi pada bangunan strategis dilakukan dengan protokol ketat? Mengapa tidak ada sistem proteksi kebakaran otomatis yang bisa langsung berfungsi? Pertanyaan-pertanyaan ini menggiring opini publik ke arah yang lebih gelap: apakah ada kesengajaan dalam insiden ini?
Apalagi, pada saat yang bersamaan, Kejagung tengah menangani sejumlah kasus besar yang melibatkan tokoh penting dan korporasi kelas kakap. Kebakaran seolah memberi jalan keluar yang “alami” untuk menghapus jejak, menghilangkan barang bukti, atau memuluskan jalan kompromi di bawah meja. Kepercayaan publik terhadap institusi hukum yang selama ini sudah keropos, makin runtuh.
Tragedi kebakaran Gedung Kejagung adalah bukti nyata bahwa hukum kita bukan hanya bisa lumpuh karena tekanan politik, tetapi juga bisa hangus terbakar bersama bangunan yang menaunginya. Ini bukan sekadar krisis fisik, melainkan krisis moral dan transparansi. Ketika institusi penegak hukum saja tak bisa menjaga rumahnya sendiri dari api, bagaimana bisa rakyat percaya bahwa mereka bisa menjaga keadilan?