Jika hanya mempersempit pandangan pada kata pribumi dan non-pribumi, maka kebijakan Susi jelas-jelas telah melanggar aturan main sebagaimana yang disebutkan dalam Inpres No. 26/1998 dan UU No. 40/2008.
Tetapi, kebijakan tersebut diambil Susi berdasarkan pada komitmen pemerintah Jokowi dalam memperbaiki ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia. Sebab, menurut catatan, saat ini, 53 persen tanah negara dikuasai rasio 0,0003 penduduk Indonesia. Sementara satu korporasi besar non-pribumi bisa menguasai hingga 12-20 juta hektare tanah negara.
Jadi, ada situasi ketimpangan di negara ini terkait dengan penguasaan sumber daya. Untuk itu pemerintah Jokowi tengah berupaya mempersempitnya. Karenanya, Susi pun menegaskan affirmative policy harus dilakukan sehingga pemerintah punya keberpihakan.
"Bukan kami menganggap non-pribumi atau non-Indonesia asli itu bukan bangsa Indonesia, bukan itu. Namun, melihat situasi dan kondisi saat sekarang, di mana satu persen penduduk menguasai 70 persen ekonomi Indonesia," tegasnya.
Dalam situasi yang terjadi di negara ini, mau tidak mau, identivikasi dengan menggunakan istilah pribumi dan no pribumi tidak bisa dihilangkan. Sebab, dengan menghilangkannya justru akan menimbulkan sejumlah kerancuan.
Karenanya sangat mengherankan jika sejumlah media dengan terburu-buru menghapus kata "pribumi" yang terkait dengan ucapan Presiden Jokowi.
Justru penghapusan tersebut menimbulkan kesan buruk terhadap pemerintah Jokowi. Setidaknya, meragukan komitmen pemerintah Jokowi dalam memperbaiki ketimpangan ekonomi.
Jika pidato Anies dipersoalkan kerena dianggap melanggar aturan main, maka kebijakan pemerintah Jokowi justru lebih dianggap melanggar Inpres No. 26/1998 dan UU No. 40/2008.
Dalam situasi yang semakin memanas seperti seperti sekarang ini, semua pihak harus berkepala dingin. Dalam situasi seperti ini, panjang-pendeknya sumbu pastinya akan menentukan setiap tindakan.