(Penebalan oleh penulis)
Dari pernyataan Ridwan Kamil tersebut jelas jika Walikota Bandung tersebut menilai LGBT sebagai domain pribadi yang tidak bisa ia persoalkan. Sebaliknya, Kang Emil pun menentang “kampanye” aktivitas LGBT yang menurutnya berdampak buruk pada mental anak-anak.
Kemudian, tidak dtemukan satu pun pernyataan Ridwan Kamil yang menegaskan kalau dirinya siap ditinggal pemilih relijius Jabar. Termasuk dalam berita yang diunggah Aktual.com sendiri.
Jadi, sangat jelas sejelas-jelasnya jelas jika isu LGBT merupakan kampanye hitam yang dialamat kepada Ridwan Kamil. Di sini pun jelas jika Ridwan tidak sedang melakoni skenario playing victim, sebab penyebar isu itu bermuasal dari lawan-lawannya.
Lawan-lawan Ridwan Kamil seharusnya lebih menggunakan kecerdasannya dalam kompetisi Pilgub Jabar 2018 ini. Sebabm penggunaan kampanye hitam sangat rentan untuk dimanfaatkan oleh pihak yang mendapat serangan. Karena itulah tidak mengherankan jika tidak sedikit pelakon kehidupan yang menggunakan skenario playing victim untuk meraih simpati publik.
Dan, sebenarnya, mengalahkan Ridwan Kamil dalam Pilgub Jabar 2018 ini bukanlah pekerjaan yang sulit. Sebab, Kang Emil sudah sempoyongan sejak ia menerima pinangan Nasdem yang dilanjutkan dengan pendeklarasian dirinya oleh Nasdem pada 19 Maret 2017.
Sejak saat itu, seperti yang dituliskan dalam artikel “Pilgub Jabar 2018, Setelah Ridwan Kamil Melubangi Kapalnya Sendiri”, elektabilitas Kang Emil menukik tajam dan sudah tidak mungkin lagi diselamatkan.
Nasdem sepertinya bukan saja dianggap merusak tingkat keterpilihan Ridwan Kamil, tetapi juga perpotensi dapat menggerogoti sesama parpol pendukung Kang Emil lainnya.
Awalnya, Golkar yang semula mendukung penuh Rindwan melompat berbalik arah mendukung kadernya sendiri Dedi Mulyadi. Meskipun kader Golkar tersebut hanya dimajukan sebagai calon wakil gubernur.
Banyak yang berpikir jika leputusan Golkar tersebut dianggap sebagai upaya konsolidasii kekuatan partai setelah terguncang hebat akibat perselisihan dalam penentuan Cagub Jabar antara DPP Golkar dengan DPD Golkar Jawa Barat.
Pertanyaannya, kenapa Golkar yang menjauh dari Kang Emil hanya menempatkan Dedi sebagai cawagub? Bukankah kalau hanya mengincar Jabar 2, Golkar masih bisa maju dengan mengajukan Ridwan Kamil sebagai cagub dan Dedi sebagai pendampingnya?
Kemudian, setelah Golkar menjauh, PDIP yang dalam dua tahun terakhir sangat dekat dengan Ridwan Kamil pun mencabut dukungannya. PDIP lantas memilih TB Hasanuddin yang dipasangkan dengan Anton Charliyan.
Mungkin dalam Pilgub Jabar 2018 ini PDIP kembali menunjukkan karakter aslinya yang lebih memilih kader ketimbang calon lain di luar partainya.
Tetapi, jika mengacu pada saat Pilgub DKI 2017, di mana PDIP lebih memilih calon terkuat ketimbang kader internal partainya sendiri, maka seharusnya PDIP lebih memilih Ridwan Kamil yang disebut-sebut berelektabilitas tinggi ketimbang TB Hasanuddin yang bahkan popularitasnya pun tidak menonjol.
Mungkinkah Golkar dan PDIP mencoba menghindar dari efek negatif Nasdem di Jawa Barat?
Awalnya pertanyaan tersebut sulit dijawab. Tetapi, setelah pada 20 Februari 2018 lalu sejumlah media memberitakan tentang ditinggalkannya Ridwan Kamil oleh ratusan kader PPP, PKB, dan Hanura, jawaban yang dicari tersebut sudah ditemukan.
Ratusan kader ketiga parpol tersebut bukan hanya meninggalkan Kang Emil, tetapi juga mengalihkan dukungan kepada pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi.
Menariknya, mereka bukan sekadar kader biasa. Mereka dipimpin oleh Ketua Bapilu DPW PPP Jabar Komarudin Taher, Ketua Bapilu Partau Hanura Budi Hermansyah, dan Ketua Dewan Syuro PKB Kabupaten Subang Agus Eko Muhammad Solihuddin (Sumber: Tribunnews.com).
Menarik, kenapa dari keempat parpol pendukung Ridwan Kamil, hanya Nasdem yang tidak ikut dalam deklarasi pengalihan dukunga, Apakah Nasdem konsisten mendukung Kang Emil? Ataukah, Nasdem tidak diajak serta?