Pada tahun 1989, Tiongkok menjadi saksi salah satu peristiwa paling tragis dalam sejarah modernnya: Pembantaian Lapangan Tiananmen. Ini adalah contoh mencolok dari tindakan represif pemerintah Tiongkok terhadap gerakan pro-demokrasi yang dipimpin oleh mahasiswa. Dari akhir April hingga awal Juni, mahasiswa dan rakyat sipil berkumpul di lapangan ikonik ini di Beijing, menyerukan reformasi politik, kebebasan berpendapat, dan endapan korupsi dalam pemerintahan. Gerakan ini terinspirasi oleh semangat kebebasan yang melanda berbagai belahan dunia pada waktu itu, termasuk negara-negara Eropa Timur yang sedang berjuang melawan rezim otoriter.
Sebelum pembantaian terjadi, demonstrasi di Lapangan Tiananmen mendapat perhatian luas, baik di dalam negeri Tiongkok maupun di seluruh dunia. Ribuan mahasiswa menggelar aksi damai yang mempertanyakan legitimasi pemerintah Tiongkok dan menyuarakan aspirasi terhadap demokrasi. Mereka mengusung spanduk yang mencerminkan nilai-nilai universal seperti hak asasi manusia, kebebasan pers, dan demokrasi. Namun, wajah indah dari kebangkitan semangat demokrasinya tak bertahan lama.
Pemerintah Tiongkok, yang terus-menerus melihat gerakan ini sebagai ancaman terhadap kekuasaan mereka, mulai melakukan langkah-langkah represif untuk mengendalikan situasi. Dalam suasana tensi yang semakin meningkat, pada malam 3 Juni 1989, pemerintah Tiongkok mengerahkan tank dan pasukan bersenjata untuk membersihkan lapangan dari para demonstran. Peristiwa ini dikenal sebagai "Hari Pembantaian" oleh banyak orang.