Tampang

Benarkah Gatot Nurmantyo tidak Berdampak pada Prabowo?

3 Apr 2018 15:51 wib. 1.405
0 0
Benarkah Gatot Nurmantyo tidak Berdampak pada Prabowo?

Menurut pengamat politik dari Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Djayadi Hanan, Gatot Nurmantyo tidak akan mampu mengerek elektabilitas Prabowo yang saat ini masih stagnan. Katanya, Prabowo dan Gatot berada dalam irisan pemilih yang sama. Karenanya, apabila keduanya dipasangkan tidak akan mampu menambah variasi pemilih. Benarkah, atau lebih tepatnya, pendapat Direktur Eksekutif SMRC sebagaimana yang dipublikasikan Merdeka.com pada 31 Market 2018t ersebut? Untuk lebih fairnya, pertama, kesampingkan dulu survei SMRC soal Ahok saat Pilgub DKI 2017 yang terbukti hoax sejak dalam bentuk kuesionernya. Kedua, sisihkan dulu hasil survei SMRC pada September 2017 yang tidak memunculkan nama Anton Charliyan sebagai cagub Jawa Barat. Padahal, setidaknya sejak Juni 2017, Anton sudah memajang baliho-baliho bergambar dirinya di sejumlah lokasi strategis di kota-kota di Jabar. Baca: Pilgub Jabar 2018, Setelah Ridwan Kamil Melubangi Kapalnya Sendiri Terakhir, lupakan sejenak serangkaian komentar yang menyebut SMRC patut diganjar kartu kuning. Bukan karena SMRC salah dalam membaca pemenang Pilgub DKI 2017. Tetapi karena SMRC gagal menangkap tren elektabilitas masing-masing pasangan. Dan bagi lembaga survei, apapun itu, kegagalan dalam menangkap sebuah tren sama saja artinya dengan kehilangan "muka". Tetapi, sekali lagi, kita harus adil dalam menyikapi sebuah pendapat. Sekalipun pendapat atau opini tersebut disampaikan oleh pihak-pihak yang kerap kali dinilai telah melakukan kesalahan dan cenderung memojokkan pihak-pihak tertentu. Dan pendapat atau opini Djayadi di atas tidal sepenuhnya salah. Dengan kata lain ada benarnya, tapi juga masih (saja) ada salahnya. Djayadi benar. Pemilih Gatot memang beririsan dengan pemilih Prabowo. Sebab pemilih kedua mantan Panglima Kostrad tersebut berada pada satu sisi yang sama, yaitu pelawan Jokowi. (Dalam kontek pemilu, penggunaan istilah "pemilih" lebih tepat ketimbang pendukung). Dan faktanya sisi itu, bukan hanya ditempati oleh pemilih Gatot dan Prabowo, tetapi juga pemilih oleh TGB, dan AHY. Logikanya sangat jelas. Jokowi adalah calon presiden petahana. Sementara, baik Gatot, Prabowo, TGB, dan juga AHY merupakan calon-calon presiden penantang. Dengan demikian, pemilih terbagi menjadi dua kelompok: pemilih calon petahana dan kelompok pemilih calon penantang. Djayadi pun tidak salah mengatakan pemilih Gatot dan Prabowo mempunyai varian yang sama. Sebab keduanya memang berlatar belakang yang sama, yakni militer. Namun, tidak benar jika Djayadi mengatakan bahwa Gatot tidak mampu mengerek elektabilitas Prabowo yang disebutnya stagnan. Karena, sekalipun pemilih kedua capres tersebut beririsan dan memiliki kesamaan varian, namun kelompok pemilih keduanya berbeda. Dan jika pemilih Gatot dan Prabowo sama, merangkak naiknya elektabilitas Gatot, seharusnya diiringi oleh penurunan elektabilitas Prabowo. Tetapi karena pemilih Gatot berbeda dari pemilih Prabowo, maka tren positif elektabilitas Gatot tidak memengaruhi elektabilitas Prabowo. Dan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dewan Penasehat DPP Relawan Selendang Putih Nusantara (RSPN), Sugeng Hari Sudrajat, pendukung Gatot yang tergabung dalam RSPN sebagian merupakan pendukung Jokowi saat Pilpres 2014. Jadi, semakin terang jika kelompok pemilih Gatot berbeda dari kelompok pemilih Prabowo. Dengan demikian, salah besar jika kedua figur capres potensial ini bergabung tidak berdampak pada peta pemilih. Jika Gatot menjadi cawapres bagi Prabowo maka Gatot akan membawa gerbong pemilihnya. Demikian juga sebaliknya, jika Prabowo menjadi king maker bagi Gatot. Maka, pemilih Prabowo akan mengarahkan pilihannya pada Gatot. Tetapi, jika Gatot dan Prabowo maju dalam Pilpres 2019 dalam pasangan kandidat yang berbeda, maka kedua kelompok pemilih akan memilih jagoannya masing-masing. Dan karena berada dalam satu irisan yang sama, kedua kelompok pemilih tersebut baru menyatu jika terjadi head to head melawan Jokowi. Diakui atau tidak, elektabilitas Gatot pastinya masih di bawah Prabowo, apalagi Jokowi. Jangankan elektabilitasnya, popularitas Gatot pun masih rendah. Tetapi, yang terpenting bagi Gatot adalah tren elektabilitasnya. Atau, seberapa positif atau negatif tren elektabilitasnya. Sayangnya, sulit bagi publik untuk mengetahui tren elektabilitas Gatot. Lantaran sejumlah lembaga survei lebih memosisikan Gatot sebagai cawapres, bukan capres. Tidak jelas apakah diposisikannya Gatot sebagai cawapres merupakan upaya dalam membentuk opini dengan tujuan kembali menghadap-hadapkan Prabowo dengan Jokowi. Tetapi, publikasi Basil survei jelang Pilpres 2019 ini mirip-mirip dengan yang terjadi jelang Pilpres 2009. Ketika itu, sejumlah hasil survei memosisikan Megawati Soekarnoputri sebagai kandidat terkuat yang dapat mengalahkan SBY. Sementara tokoh lainnya terkesan sebagai penggembira. Untuk menguatkan posisi Megawati tersebut, dipublikasikan jika kemunculan tokoh-tokoh lainnya, seperti JK, Prabowo, Amien Rais, dan lainnya hanya mempengaruhi elektabilitas Wiranto. Akibatnya, menurut hasil survei, elektabilitas Wiranto terus menurun seiring dengan munculnya capres baru atau naiknya elektabilitas capres lain di luar Megawati dan SBY. Dan sebagaimana diketahui, Megawati dan Prabowo memiliki kesamaan, yaitu pernah dikalahkan oleh capres petahana. Karenanya, timbul pertanyaan mungkinkah penggiringan opini yang dibungkus lewat hasil survei seperti yang diduga dilakukan jelang Pilpres 2019 saat ini tengah direproduksi ulan

<12>

#HOT

0 Komentar

Belum ada komentar di artikel ini, jadilah yang pertama untuk memberikan komentar.

BERITA TERKAIT

BACA BERITA LAINNYA

POLLING

Apakah Indonesia Menuju Indonesia Emas atau Cemas? Dengan program pendidikan rakyat seperti sekarang.