Bayangkan membunyikan alarm pukul 04.00 pagi setiap hari hanya untuk berangkat ke sekolah. Bagi sebagian siswa di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), ini bukan sekadar mimpi buruk, melainkan realitas yang pernah mereka hadapi. Pada awal tahun 2023, kebijakan kontroversial diberlakukan di sepuluh SMA dan SMK di Kota Kupang: jam masuk sekolah diatur mulai pukul 05.00 WITA. Langkah ekstrem ini sempat diklaim sebagai jadwal masuk sekolah paling pagi di dunia.
Gubernur NTT kala itu, Viktor Laiskodat, menginisiasi kebijakan ini dengan tujuan membentuk karakter siswa yang disiplin dan beretos kerja tinggi. Ia menyasar siswa yang bercita-cita menjadi bagian dari institusi militer atau kepolisian. “Anak itu harus dibiasakan bangun pukul 04.00,” tegas Laiskodat saat diwawancarai pada pertengahan 2025, mengutip pernyataannya dari detikcom.
Namun, kebijakan ini langsung menyedot perhatian media nasional dan internasional. Respons masyarakat pun beragam. Banyak yang mengkritisi keputusan tersebut karena dinilai tidak ramah terhadap kesehatan fisik dan mental remaja. Sebab, sejumlah riset menunjukkan bahwa waktu tidur yang cukup sangat penting dalam mendukung perkembangan otak dan konsentrasi belajar siswa.
Akibat sorotan tajam dan tekanan publik, jadwal masuk yang semula pukul 05.00 akhirnya direvisi menjadi 05.30 WITA. Kebijakan tersebut diberlakukan di dua sekolah, yakni SMAN 1 Kota Kupang dan SMAN 6 Kota Kupang, sebelum akhirnya dicabut total oleh Pj Gubernur NTT Ayodhia Gehak Lakunamang Kalake pada bulan September 2023. Ia menyatakan bahwa seluruh siswa di wilayah tersebut kembali masuk seperti biasa, yakni pukul 07.00 waktu lokal.
“Kami secara resmi mencabut aturan masuk sekolah pukul 05.30 WITA,” ucap Kalake dalam pernyataannya tahun lalu.
Menariknya, praktik serupa kembali muncul di belahan lain Indonesia. Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Gubernur Dedi Mulyadi mengumumkan bahwa mulai tahun ajaran 2025/2026, semua jenjang pendidikan di provinsi tersebut akan menerapkan jam masuk pukul 06.30 pagi. Kebijakan ini diberlakukan sebagai bentuk kompensasi atas diberlakukannya hari Sabtu sebagai hari libur sekolah. Namun, pelaksanaannya bersifat fleksibel, tergantung kondisi geografis dan kultur masing-masing daerah, terutama bagi sekolah-sekolah di daerah pegunungan.