Baru-baru ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, mengambil keputusan kontroversial dengan mencabut status pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah-sekolah. Keputusan ini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat, terutama dari para penggiat gerakan pramuka. Bagi sebagian orang, keputusan ini dianggap sebagai langkah positif dalam memberikan kebebasan sekolah untuk mengatur kurikulum ekstrakurikuler sesuai dengan kebutuhan dan minat peserta didik. Namun, bagi pihak lain, keputusan ini dianggap sebagai langkah penurunan rasa nasionalisme dan kepedulian sosial generasi muda terhadap gerakan pramuka.
Sebagai salah satu negara dengan sejarah gerakan pramuka yang kuat, status pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah-sekolah telah lama menjadi bagian integral dari sistem pendidikan di Indonesia. Pramuka bukan hanya sekadar kegiatan tambahan di luar jam pelajaran, tetapi juga sebagai sarana pembentukan karakter, kecintaan pada alam, kepemimpinan, dan keterampilan sosial. Dengan mencabut status pramuka sebagai eskul wajib di sekolah, Nadiem Makarim tentu saja menuai kontroversi dan sorotan tajam dari berbagai pihak.
Dalam melihat kontroversi ini, ada baiknya untuk mempertanyakan apakah keputusan Nadiem Makarim ini benar-benar tepat atau sebaiknya dipertimbangkan ulang. Dalam konteks kebebasan sekolah untuk mengatur kurikulum ekstrakurikuler, keputusan ini mungkin dapat dijustifikasi. Setiap sekolah memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda, sehingga memberikan kebebasan dalam pengaturan kurikulum ekstrakurikuler tentu merupakan langkah positif dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang sesuai bagi peserta didik.