Makanya, tak heran jika seluruh lapisan masyarakat Korea Selatan seolah berhenti sejenak saat Suneung tiba. Penerbangan dihentikan sementara, lalu lintas diatur sedemikian rupa agar siswa tidak terlambat, bahkan para polisi ikut turun tangan mengantar siswa yang terjebak macet. Ini menunjukkan betapa sakral dan menentukan ujian tersebut. Tekanan untuk lolos dan masuk ke universitas impian begitu besar, bukan hanya dari diri sendiri, tetapi juga dari orang tua, keluarga besar, dan masyarakat luas.
Orang tua di Korea Selatan punya peran besar dalam lingkaran tekanan ini. Mereka rela mengeluarkan biaya besar untuk mengirim anak-anaknya ke hagwon terbaik, membeli buku-buku penunjang, bahkan tak jarang ada yang pindah rumah demi mendekatkan anak ke sekolah atau hagwon favorit. Investasi pendidikan dianggap sebagai investasi terbaik untuk masa depan anak. Ekspektasi yang tinggi ini, ditambah dengan persaingan yang begitu sengit, membuat siswa terus-menerus merasa tertekan dan harus berjuang keras melebihi batas kemampuannya.
Dampak dari sistem ini, tentu saja, tidak selalu positif. Memang, Korea Selatan berhasil mencetak generasi yang sangat cerdas, disiplin, dan pekerja keras. Mereka punya tingkat literasi yang tinggi dan mampu bersaing di kancah global. Namun, di sisi lain, tekanan akademik yang ekstrem ini juga membawa konsekuensi serius bagi kesehatan mental siswa. Angka stres, kecemasan, depresi, bahkan kasus bunuh diri di kalangan remaja Korea Selatan cukup memprihatinkan. Mereka sering kekurangan tidur, tidak punya waktu luang untuk bersosialisasi atau mengembangkan minat di luar akademik, dan merasa kebahagiaan mereka direnggut oleh jadwal belajar yang padat.