Pendidikan tinggi sering dianggap sebagai investasi terbaik untuk masa depan. Gelar sarjana bukan hanya menjadi tiket masuk ke dunia kerja, tetapi juga dikaitkan dengan potensi penghasilan yang lebih tinggi. Menurut penelitian dari Georgetown University Center on Education and the Workforce, lulusan sarjana memiliki rata-rata penghasilan 84% lebih tinggi dibandingkan mereka yang hanya memiliki ijazah SMA.
Namun, tidak semua jurusan menawarkan keuntungan finansial yang sama. Beberapa bidang studi, seperti sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM), dikenal memiliki prospek gaji tinggi. Selain itu, jurusan di bidang kesehatan dan bisnis juga cenderung memberikan penghasilan yang lebih baik dibandingkan bidang sosial dan humaniora.
Meski begitu, tidak sedikit lulusan yang justru menyesali pilihan jurusan mereka setelah memasuki dunia kerja. Laporan dari ZipRecruiter mengungkapkan bahwa ada 10 jurusan yang sering disesali lulusannya karena prospek gaji yang rendah dan peluang kerja yang terbatas.
Mengapa Banyak Lulusan Menyesal dengan Pilihan Jurusannya?
Menurut Sinem Buber, ekonom utama di ZipRecruiter, banyak mahasiswa awalnya memilih jurusan berdasarkan minat pribadi tanpa mempertimbangkan potensi penghasilan di masa depan. Sayangnya, setelah lulus dan menghadapi realitas finansial, banyak dari mereka yang merasa gaji yang didapatkan tidak sebanding dengan usaha dan biaya yang telah mereka keluarkan selama kuliah.
"Ketika Anda sudah lulus dan mulai bekerja, realitas akan datang. Saat Anda kesulitan membayar tagihan, gaji menjadi faktor yang lebih penting," ujar Buber, dikutip dari CNBC Internasional.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, berikut adalah daftar 10 jurusan yang paling sering disesali setelah lulus berdasarkan survei ZipRecruiter.
1. Jurnalisme (87%)
Jurusan jurnalisme menempati peringkat teratas sebagai jurusan yang paling disesali oleh lulusannya. Meskipun menarik bagi mereka yang suka menulis dan meliput berita, kenyataannya dunia kerja di bidang ini cukup kompetitif.
Banyak lulusan jurnalisme yang menghadapi persaingan ketat, gaji awal yang rendah, serta industri media yang semakin terdisrupsi oleh teknologi digital dan AI. Sejumlah media bahkan mulai mengurangi jumlah jurnalis mereka akibat pergeseran ke konten berbasis AI.