Olimpiade Berlin 1936 adalah contoh lain di mana politik dan olahraga berinteraksi dengan cara yang sangat kontroversial. Di bawah rezim Nazi, Adolf Hitler menggunakan Olimpiade sebagai platform untuk mempromosikan ideologi superioritas rasialnya. Di tengah hingar-bingar pertandingan, isu-isu politik dan propagandanya terlihat jelas. Meskipun saat itu banyak negara yang berpikir untuk memboikot, banyak negara akhirnya turut berpartisipasi, dan Olimpiade tersebut menjadi ajang yang menyoroti kesenjangan antara ideologis dan realitas.
Dalam konteks kontemporer, kita juga melihat bagaimana boikot politik muncul akibat faktor-faktor tertentu. Sebagai contoh, Olimpiade Tokyo 2020 yang diadakan pada tahun 2021 mengalami kritik terkait penanganan pandemi COVID-19. Beberapa kelompok, termasuk atlet dari berbagai negara, menyerukan agar negara mereka tidak berpartisipasi. Meskipun boikot formal tidak terjadi, namun banyak diskusi di media tentang dampak dari situasi tersebut pada sportivitas dan bagaimana hal ini mempengaruhi moral para atlet.
Berbagai negara dapat menggunakan Olimpiade untuk mengekspresikan solidaritas mereka dengan kelompok yang terpinggirkan atau untuk menekankan nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial. Sebagai contoh, saat Olimpiade Rio 2016, berbagai atlet menggunakan panggung Olimpiade untuk berbicara mengenai isu-isu ketidakadilan rasial dan hak asasi manusia. Dalam hal ini, Olimpiade bukan sekadar ajang kompetisi atletik, tetapi juga platform untuk menyuarakan perubahan sosial.