Tee Kok Ong, Direktur Pengembangan Bisnis Sumsub, mengungkapkan bahwa hanya sekitar 0,05 persen dari penjahat atau penipu online yang berhasil ditangkap. Kehadiran teknologi yang semakin maju telah membawa bahaya baru, salah satunya adalah penipuan online. Ong menyoroti perkembangan penipuan secara daring yang semakin canggih dengan menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Menurut Ong, kerugian akibat penipuan online mencapai USD 1,02 triliun atau sekitar Rp 16.495 triliun setiap tahun (dengan asumsi kurs Rp 16.175 per dolar AS) dan jumlah korban mencapai 2 miliar. Dia menyampaikan hal ini dalam rangkaian acara Sumsub APAC Anti-Fraud Roadshow pada tanggal 16 Juli 2024.
Pada tahun 2023, kejahatan finansial mencapai USD 800 miliar atau sekitar Rp 12.940 triliun. Ong juga menyoroti beberapa penyebab maraknya kejahatan atau penipuan online, di antaranya adalah kurangnya tindakan pencegahan keamanan cyber secara rutin di kalangan berbagai pihak.
Perusahaan-perusahaan juga masih banyak yang menggunakan teknologi lama sehingga tidak mampu melakukan pemantauan transaksi yang mencurigakan secara menyeluruh, yang kemudian memungkinkan terjadinya penipuan.
“Saya berbicara dengan bank-bank yang masih menggunakan platform berbeda untuk proses KYC dan pemantauan transaksi, sehingga mereka tidak dapat melakukan pemantauan secara yang komprehensif dalam satu platform,” ungkapnya.
Selain itu, perkembangan teknologi terbaru, seperti Deepfake, juga menjadi faktor lain yang dimanfaatkan oleh penjahat atau penipu online. Deepfake adalah teknologi yang memungkinkan pembuatan gambar atau video dengan manipulasi yang dilakukan menggunakan algoritma pembelajaran mesin dan kecerdasan buatan (AI).