“Itu harus ada audit dari pemerintah ketika menyangkut pajak, tapi LMKN sendiri harus diaudit auditor independen agar kredibilitasnya terjaga,” katanya.
Langkah ini dinilai penting untuk membangun kepercayaan publik, terutama dari kalangan musisi dan pencipta lagu yang selama ini kerap mengkritisi transparansi distribusi royalti.
Yogi juga mengingatkan bahwa revisi Undang-Undang Hak Cipta tidak boleh hanya menyoroti musik sebagai subsektor utama, melainkan harus menjangkau seluruh sektor ekonomi kreatif. Mulai dari film, seni rupa, literasi, hingga karya digital, semua membutuhkan regulasi yang melindungi sekaligus membuka ruang pemanfaatan ekonomi dari hak cipta.
“Ekonomi kreatif itu salah satu kuncinya ya hak cipta. Selama ini baru musik yang naik ke permukaan, padahal subsektor lain juga sangat butuh perhatian. Jangan sampai UU ini hanya menyentuh sebagian kecil saja,” jelasnya.
Lebih jauh, Yogi menilai RUU Hak Cipta sebaiknya juga memperhatikan keterhubungan dengan sektor lain, termasuk dunia perbankan. Ia menyebutkan, hak cipta seharusnya bisa digunakan sebagai instrumen fidusia atau jaminan bagi pelaku kreatif untuk mendapatkan akses permodalan. Dengan begitu, hak cipta tidak sekadar berfungsi sebagai perlindungan hukum, tetapi juga memiliki nilai ekonomi yang nyata.