Meski kalender menunjukkan pertengahan tahun, banyak wilayah di Indonesia, termasuk Jabodetabek, masih dilanda hujan. Fenomena ini membuat masyarakat bertanya-tanya: kenapa musim kemarau belum benar-benar tiba? Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), hingga pertengahan Juni 2025, baru sekitar 15% Zona Musim (ZOM) yang secara resmi memasuki musim kemarau. Artinya, sebagian besar wilayah Indonesia masih berada dalam transisi atau bahkan masih mengalami musim hujan.
Fenomena cuaca ini bukan tanpa sebab. Salah satu pemicunya adalah keberadaan Siklon Tropis Wutip di kawasan Laut China Selatan timur Vietnam. Sistem cuaca ini berperan besar dalam menarik massa udara dari wilayah Indonesia bagian barat, sehingga mengurangi potensi hujan di area tertentu, tetapi juga memicu ketidakstabilan atmosfer di wilayah lainnya.
BMKG: Cuaca Masih Labil, Waspadai Potensi Ekstrem
Kondisi atmosfer Indonesia saat ini masih tergolong aktif dan dinamis. Oleh karena itu, BMKG mengimbau masyarakat untuk tetap siaga terhadap potensi cuaca ekstrem yang bisa terjadi sewaktu-waktu, seperti hujan lebat, angin kencang, hingga gelombang tinggi. Meskipun sebagian daerah mulai memasuki musim kemarau, hal tersebut tidak serta-merta menghilangkan risiko bencana hidrometeorologi.
Dalam rilis resmi yang diakses Senin (16/6/2025), BMKG menegaskan pentingnya memantau informasi cuaca dari sumber terpercaya serta melakukan langkah mitigasi untuk meminimalkan risiko bencana, terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan longsor, banjir, atau pesisir.
Dinamika Atmosfer 16–19 Juni 2025: Udara Kering dari Australia dan Pengaruh Siklon Tropis
BMKG memprediksi bahwa dalam periode 16–19 Juni 2025, Monsun Australia akan menguat. Aliran udara kering dari selatan ini berkontribusi pada menurunnya curah hujan di wilayah Indonesia bagian selatan. Dampaknya akan dirasakan terutama di Jawa bagian selatan, Bali, Nusa Tenggara, serta sebagian Kalimantan bagian selatan yang akan lebih cepat memasuki musim kemarau.