Penandatanganan Kontrak Karya pertama antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport Sulphur Company (kemudian menjadi Freeport Indonesia) pada tahun 1967 seringkali menjadi topik perdebatan, terutama mengenai keuntungan dan kerugiannya bagi negara. Pada pandangan pertama, isi kontrak tersebut mungkin terlihat kurang menguntungkan bagi Indonesia jika dibandingkan dengan standar kontrak pertambangan modern. Namun, untuk memahami keputusan yang diambil oleh pemerintahan Soeharto saat itu, penting untuk menempatkannya dalam konteks politik dan ekonomi Indonesia yang sangat berbeda pada akhir tahun 1960-an.
Kondisi Ekonomi Indonesia Pasca-Orde Lama
Ketika Soeharto mengambil alih kepemimpinan dari Soekarno, Indonesia berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk. Inflasi mencapai ratusan persen, utang luar negeri menumpuk, infrastruktur rusak parah, dan investasi asing hampir tidak ada. Periode Demokrasi Terpimpin Soekarno cenderung anti-Barat dan nasionalistik, yang membuat investor asing enggan masuk.
Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto memiliki agenda utama untuk menstabilkan ekonomi dan menarik investasi asing sebagai kunci pembangunan. Keterbatasan modal domestik dan kebutuhan mendesak untuk menciptakan lapangan kerja serta menggerakkan perekonomian menjadi prioritas utama. Dalam kondisi ini, menarik investasi asing, bahkan dengan persyaratan yang mungkin terasa kurang ideal di kemudian hari, dianggap sebagai langkah pragmatis untuk menghidupkan kembali ekonomi yang sekarat.
Kebutuhan Modal dan Teknologi Asing
Indonesia pada tahun 1960-an sangat kekurangan modal, teknologi, dan keahlian untuk mengeksplorasi serta mengembangkan sumber daya mineral besar seperti tembaga dan emas di Papua. Penemuan cadangan mineral raksasa di Grasberg (kemudian Ertsberg) oleh Freeport adalah sebuah peluang besar, namun eksploitasinya membutuhkan investasi triliunan dolar dan teknologi pertambangan mutakhir yang tidak dimiliki Indonesia.