Tahun 1816 dikenal sebagai "Tahun Tanpa Musim Panas," sebuah peristiwa iklim yang dipenuhi oleh cuaca ekstrem yang mengubah kondisi hidup di banyak belahan dunia. Musim panas yang seharusnya cerah dan hangat berubah menjadi kedinginan yang menusuk, menyebabkan gagal panen dan krisis pangan di berbagai wilayah. Lalu, apa yang menyebabkan peristiwa cuaca yang mencengangkan ini? Jawabannya terletak pada efek vulkanik dari Letusan Gunung Tambora di Indonesia, yang terjadi pada tahun 1815.
Letusan Gunung Tambora merupakan salah satu letusan vulkanik terbesar dan paling berbahaya dalam sejarah. Dengan kekuatan yang luar biasa, letusan ini mengeluarkan awan abu dan gas vulkanik ke atmosfer dengan jumlah yang sangat besar. Partikel-partikel tersebut menyebar ke seluruh dunia, mempengaruhi pola cuaca global. Akibatnya, Surya tidak dapat bersinar dengan maksimal karena tertutupi oleh abu vulkanik, sehingga mengakibatkan penurunan suhu yang signifikan. Ini adalah kondisi yang sangat tidak biasa dan berdampak luas, menciptakan cuaca ekstrem yang tidak pernah sebelumya dialami oleh banyak negara, terutama di belahan utara.
Di Eropa, misalnya, bulan Juli 1816 yang seharusnya meriah dengan sinar matahari dan suhu hangat justru disertai dengan hujan deras dan suhu dingin yang tidak biasa. Banyak petani kecewa karena tanaman mereka mati akibat cuaca yang tidak mendukung. Mereka terpaksa menghadapi kekurangan pangan dan harga bahan makanan yang melambung tinggi karena langkanya pasokan. Beberapa laporan bahkan menyebutkan bahwa salju turun di bulan Agustus, sesuatu yang sangat langka terjadi pada musim panas di Eropa.