Sebuah laporan PBB mengungkap realitas yang menyedihkan di Myanmar, di mana hampir separuh dari populasi, sekitar 27,3 juta orang dari total 55 juta, hidup di bawah garis kemiskinan, mencerminkan peningkatan drastis dari 24,8 persen pada tahun 2017.
Erosi kelas menengah, yang diperparah oleh konflik yang meningkat antara militer dan kelompok minoritas etnis, semakin memperburuk masalah ekonomi bangsa ini.
Dengan penurunan GDP sebesar 17,9 persen pada tahun 2021 dan tantangan yang terus berlanjut akibat pandemi COVID-19, tindakan mendesak sangat diperlukan.
UNDP memperkirakan bahwa diperlukan $4 miliar setiap tahun untuk intervensi seperti transfer tunai dan langkah-langkah keamanan pangan untuk meredakan krisis yang semakin dalam ini dan mencegah dampak antargenerasi.
Krisis ekonomi Myanmar mencerminkan tantangan besar yang harus dihadapi oleh negara tersebut. Meningkatnya jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan memberikan gambaran yang mengkhawatirkan tentang keadaan sosial dan ekonomi di negara ini. Pada tahun 2023, 49,7% dari total 55 juta penduduk Myanmar harus bertahan hidup dengan penghasilan kurang dari 1.590 kyat atau setara dengan 75 sen AS per hari. Angka ini hampir dua kali lipat dari persentase pada tahun 2017.
Krisis ekonomi Myanmar tidak hanya dipengaruhi oleh kemiskinan absolut, tetapi juga oleh ketegangan politik dan sosial yang semakin meningkat. Konflik antara militer dengan kelompok minoritas etnis telah memperparah situasi ini dan membuat masalah ekonomi semakin sulit diatasi. Perubahan dari situasi politik juga memperburuk kinerja ekonomi, terutama dalam hal investasi dan keamanan bisnis.