Namun, di Jepang, gagasan ini masih dianggap radikal karena budaya kerja yang mengaitkan loyalitas dengan waktu di kantor. Tokyo bukan satu-satunya yang menerapkan kebijakan ramah keluarga, karena sebelumnya Singapura juga memperkenalkan panduan baru untuk fleksibilitas kerja.
Dari sisi lain, kebijakan ini bisa memberikan dampak positif terhadap angka kelahiran di Jepang. Dengan adanya kebijakan kerja empat hari, para ibu bekerja akan memiliki lebih banyak waktu untuk berkumpul dengan keluarga dan merencanakan kehamilan serta pengasuhan anak. Hal ini diharapkan dapat membantu meningkatkan angka kelahiran di Jepang karena kesenjangan partisipasi tenaga kerja antara pria dan wanita yang tinggi juga menjadi salah satu faktor rendahnya angka kelahiran di negara tersebut.
Pemerintah Jepang juga tidak henti-hentinya mendorong perubahan dalam budaya kerja dan meningkatkan kondisi kerja. Hal ini juga termasuk dalam upaya untuk mengatasi rendahnya angka kelahiran di Jepang. Dorongan bagi pria untuk mengambil cuti ayah dan perbaikan kondisi kerja di berbagai daerah menjadi salah satu langkah prioritas yang diambil.
Bahkan, sosiolog menyebut budaya kerja Jepang yang keras sebagai salah satu penyebab rendahnya angka kelahiran. Situasi di Jepang juga tidak hanya terkait dengan angka kelahiran, namun juga menyangkut masalah kesehatan dan kesejahteraan pekerja. Jam kerja yang melelahkan sering kali memicu masalah kesehatan, bahkan dalam kasus ekstrem dapat menyebabkan "karoshi" atau kematian akibat kerja berlebihan.
Terkait dengan kondisi kerja, kebijakan kerja empat hari ini juga menjadi perhatian khusus bagi negara-negara Barat yang mulai menguji jam kerja lebih singkat demi keseimbangan kerja dan kehidupan. Studi menunjukkan bahwa kebijakan ini dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja. Oleh karena itu, kebijakan ini akan memberikan dampak positif bagi para pekerja negeri di Jepang.